Andai aku tidak menyapanya, rasa sakit ini tak akan ada.
Akan tetapi, aku tak sanggup melihatnya duduk sendiri tanpa ada yang menemani.
Aku tidak ingin menjadi seperti mereka yang menjauhinya, hanya karena dia seorang tunadaksa.
***
"Ribet banget, sih, kakak kelas nyuruh dandan kayak gini. Persis badut, tau gak?"
Aku hanya mampu menghela napas mendengar gerutuan sahabat baikku, Rukly Senjara.
Sejak menginjakan kaki di Area Sekolah, tak henti-hentinya pemuda berambut jabrik itu mengoceh. Memprotes tindakan anggota Osis yang meminta murid baru mengenakan astribut untuk masa orientasi siswa (MOS).
Dua hari yang lalu, ketua Osis mengumumkan untuk membawa benda yang akan kami pakai. Berupa topi karton, tas karung, kalung permen dan papan nama dari kardus.
Penampilan kami kini tak ubahnya seperti orang gila. Terlebih untuk para siswi yang disuruh mengikat rambut panjang sebelah. Mereka persis pasien rumah sakit jiwa. Meski ada juga beberapa yang terlihat imut.
"Ngapain, sih, ada acara MOS kayak gini. Gak guna banget!"
"Udah, lo diem aja! Kuping gue sakit denger omelan cempreng lo itu tau, gak?!"
Aku balas mengomel pada Rukly. Meruntuki sifat buruk sahabatku yang bawel itu. Aneh, dia cowok, tetapi mulutnya ember sekali seperti perempuan.
"Emang lo gak kesel, Rey?" tanya Rukly menatapku.
Kami berdua sedang berjalan menuju lapangan tempat berkumpul para peserta didik baru.
"Ya, kesel. Tapi ngomel doang gak ada gunanya juga."
"Lo, sih, enak, Rey. Mau tampil gimana aja tetep cakep. Nah, gue ... ketampanan gue bisa terjun bebas."
"Lah, emang dari dulu udah terjun payung, 'kan?"
"Oyyy!"
Aku hanya tertawa kecil menanggapi protesan Rukly. Tahu benar sifat dia yang tak mungkin marah hanya karena masalah sepele tadi.
Rukly pasti menyadari jika aku hanya bercanda. Salah sendiri mengoceh tiada henti, membuat panas telinga saja.
"Hey, kalian berdua, buruan ke sini!"
Seorang kakak kelas bermantel hitam melambaikan tangan. Menyuruhku dan Rukly agar berlari, ikut berbaris di tengah lapangan seperti murid baru lainnya. Kudengar Rukly mencebik, tetapi tetap menyusulku yang sudah lebih dulu melangkah. Namun, aku terhenti melihat seorang siswi duduk bersandar di tiang Aula. Dari penampilannya, dia murid baru sama sepertiku.
Akan tetapi, kenapa dia tidak beranjak menuju lapangan? Malah enak-enakan duduk santai menatap kerumunan siswa-siswi yang berbaris rapi.
Saat akan menegurnya, aku merasakan tepukan di bahu. Tak lama terdengar suara Rukly bertanya.
"Kok, berhenti di sini? Itu setan merah udah melotot-melotot. Ayo, buruan ke lapangan!"
Aku akan menjawab sekaligus bertanya pada Rukly mengenai sosok gadis tadi. Namun, sebuah tarikan membatalkan niatan. Ketua Osis memegang tanganku dan Rukly, menyeret untuk segera berbaris mengikuti murid yang lain.
Aku menyempatkan diri untuk menoleh pada gadis itu. Entah sejak kapan dia melihat ke arahku. Pandangan kami beradu. Menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya dia memutus kontak setelah melempar senyum sekilas.
Apa-apaan itu? Dia meledekku?
"Tunggu, Kak!" cegatku menarik lengan Ketua Osis yang bernama Pandu.
Kak Pandu menghentikan langkah, berbalik menoleh. Termasuk juga Rukly yang terlihat sama penasarannya dengan Ketua Osis.
"Ada apa?" tanya Kak Pandu tergesa, terlihat tak sabar menunggu apa yang akan kukatakan.
"Itu ... cewek itu gak ikut berbaris juga?" tanyaku melirik gadis berkacamata yang tadi melempar senyum.
Tentu saja, aku tidak secara terang-terangan menunjuknya. Itu tidak sopan. Tindakan tercela. Apalagi kami belum mengenal satu sama lain.
Kak Pandu mengikuti arah lirikan mataku, begitu juga dengan Rukly. Seperti biasa, pemuda itu memiliki tingkat kepo stadium akut.
"Oh, Melga."
Pemuda yang menjabat sebagai Ketua Osis itu mengangguk-angguk. Seakan telah mengerti duduk persoalan dari apa yang tadi kutanyakan. Sikapnya justru makin membuat diri ini tak mengerti.