Disabilitas Cinta

Mega Kembar
Chapter #3

Senyum Palsu

Andai aku tetap mempertahankan ego, perasaan sesak ini tidak akan mengganggu.

Akan tetapi, rasa penasaran mengkhianatiku. Aku terus mendekati gadis tunadaksa itu. 

***

Waktu berlalu bagai air mengalir. Ini adalah hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa dilakukan. Para anggota hilir mudik mengurus sesuatu.

"Hei, Reyfan. Ayo, duduk sini!"

Aku melangkah menghampiri Rukly yang tadi menyapa. Mendudukan diri di samping Si Jabrik yang bersenda gurau dengan salah satu sahabatku yang lain, Sagara Miller.

Melihat keduanya, membuat ingatan ini kembali memutar percakapan saat pulang sekolah tempo hari. 

Agara bertanya perihal kejadian saat aku menyapa Melga. Pemuda berambut cepak itu mendengar gosip di kalangan murid baru, bahwa aku terlihat akrab dengan Melga. Kemudian dengan kurang ajarnya, Rukly pun memberitahu kejadian yang sebenarnya pada Agara. 

Tentu saja bila Rukly yang menceritakannya akan dibuat sedramatis mungkin. Lihat saja ekspresinya saat menuduhku menaruh hati pada Melga. 

Konyol. Aku tidak mungkin menyukai gadis sepertinya bila yang normal saja masih berkeliaran di muka bumi. Iya, 'kan? 

Tuhan ... bukan aku merendahkan ciptaanMu. Akan tetapi, bila bersamanya banyak hal yang harus di pikirkan.

Sejujurnya aku termasuk golongan orang yang tak bisa menerima kekurangan fisik. Bagaimanapun, kelak aku menginginkan seorang istri yang sempurna, baik rohani maupun jasmaninya. Namun, kenapa seakan hatiku memberontak?

"Lo beneran suka ama Melga, Rey? Gue kira lo suka ama Bella?"

Agara berjalan di samping kananku sedangkan Rukly berada di sisi kiri. Raga ini diapit oleh dua mahluk absurd bin ababil. Parahnya mereka sahabatku sendiri. Bagaimana mungkin mereka menebak bila aku menyukai Melga hanya karena menyapa gadis itu.

Kepedulianku pada Melga hanya sebatas manusia sosial saja. Terlebih kami juga satu angkatan. Menurutku tidak ada yang salah dengan itu. Namun, sepertinya dua siswa di dekatku ini salah mengartikannya.

"Enggaklah. Ya, kali!"

Aku memutar mata. Sebisa mungkin berusaha terlihat tersinggung akan tebakan Agara tadi.

"Tapi, Rukly bilang ...."

"Lo percaya aja. Dia kan tukang tipu!"

"Hoi, enak aja bilang gue kangtipu! Salah lo sendiri tiba-tiba ngedeketin. Gak salah dong gue ngira lo main hati ama cewek cacat itu."

Setelah menyampaikan argument-nya Rukly tertawa terbahak-bahak. Seolah apa yang dia katakan tadi itu lelucon. Mungkin, lucu bagi Rukly. Namun, belum tentu bagi Melga. 

"Hush, jangan ngomong kayak gitu. Entar kualat, loh!"

Agara menegur, berusaha memeringati. Akan tetapi, tak mempan pada Rukly yang makin mengeraskan suara.  

Aku menghela napas. Membiarkan Rukly merancu bebas. Tidak ada kewajiban untuk membela Melga. Toh, dia bukan siapa-siapaku. Akan tetapi ....  

Tuhan ... kenapa hati ini serasa tercekik?

***

Tin tin tin ... bunyi klakson mobil menyapa liang telinga. Menghentikan secara paksa pembicaraanku dengan Rukly dan Agara. Sontak kami langsung menoleh ke sumber suara. Terlihat sebuah sedan silver memasuki halaman parkir. 

Sejujurnya, aku sudah sering melihat mobil merek avanza itu mondar-mandir di lingkungan sekolah. Akan tetapi, tak pernah tahu siapa pemiliknya. Mungkin kendaraan salah satu guru, begitu pikirku.

Sayangnya, prasangka itu lenyap ketika mendengar bisik seorang siswi yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Siswi yang kuketahui bernama Amel itu, bergosip dengan teman di sampingnya.

"Enak, yah, jadi Melga, dianterin tiap hari pake mobil. Sedangkan gue harus jalan berkilo-kilo dari rumah."

"Hush, jangan gitu! Kita harus bersyukur enggak cacat kayak dia."

"Hahaha, iya juga, sih. Tapi tetep aja bikin iri."

Aku akan mendengarkan percakapan dua siswi itu hingga selesai, andai saja tidak ada yang menepuk bahu.

"Apa?" tanyaku pada Rukly, sang tersangka utama.

"Liat, princess lo udah dateng!" Rukly menunjuk seorang siswi dengan dua tongkat besi di kanan dan kirinya.

Gadis berkemeja putih dengan rok biru SMP tampak menutup pintu mobil. Rambutnya dikuncir dua menggunakan pita merah. Kacamata berframe hitam menyembunyikan iris yang kutahu berwarna kecoklatan.

Melga melangkah perlahan menuju Aula. Hentakan tongkat di tanah menimbulkan bunyi kruk-kruk setiap mengayun.

"Cieee, diliatin terus. Samperin sono!" Kembali suara sumbang Rukly mengejek.

"Apaan, sih, lo. Gue liat dia karena penasaran aja."

"Penasaran apa penasaran?"

"Penasaran gimana, Rey?" 

"Melga punya dua kaki. Tapi kok gak bisa jalan?"

Aku bertanya pada Agara. Tidak memedulikan godaan Rukly yang semakin menjadi. Mungkin benar, dia harus diruqiyah agar normal sedikit.

Lihat selengkapnya