Andai aku tidak peduli, cinta pahit ini tak akan menghancurkan.
Akan tetapi, melihat gadis tunadaksa itu kelelahan. Aku ingin lebih peduli.
***
"Kak Pandu .... Maaf, boleh minta waktunya sebentar?!"
Ketua Osis berbalik menatap Melga, mengakhiri pertengkaran kecilnya dengan Rukly.
Melihat kedatangan gadis besi, Rukly langsung membungkam mulut rapat. Kelereng hitamnya bergerak tak tentu arah. Terlihat tak nyaman dengan kehadiran Melga.
Alisku terasa saling bertautan. Sikap Rukly jauh dari kata biasanya. Dengan terang-terangan pemuda itu menyingkir menjauhi Melga dan berdiri di sampingku.
Apa benar Si Jabrik merasa jijik dengan kecacatan Melga?
Akan tetapi, bila iya. Tidak seharusnya menunjukan hal itu dengan jelas. Tindakan Rukly barusan bisa saja membuat Melga sakit hati.
Aku menarik napas panjang, tidak seharusnya memikirkan hal rumit tadi. Toh, bukan urusan diri ini bila Rukly mau jijik atau pun benci pada Melga. Aku tidak peduli. Tidak ada untungnya juga untukku. Iya, 'kan?Akan tetapi, kenapa aku selalu terdengar ragu?
"Boleh, Melga mau ngomong apa?"
Kak Pandu bertanya ramah. Dia memang sosok pemuda dewasa yang berwibawa, berbeda dengan adiknya, urakan. Mantan berandalan pula.
"Tidak, Kak. Saya cuman mau kasih permen ini."
"Wah, terima kasih banyak. Kamu baik sekali! Tidak seperti adik kakak yang itu."
Ketua Osis tertawa renyah. Ujung matanya melirik Rukly yang terdiam. Biasanya dia akan meraung bak seekor singa jantan. Tidak terima dengan godaan yang dilontarkan Kak Pandu. Namun, kali ini Rukly membisu bagai putri malu.
Kulihat Kak Pandu pun hanya menghela napas. Seolah sudah menduga reaksi Rukly. Raut wajahnya bahkan tidak menunjukan keanehan sedikit pun. Berbeda denganku.
"Sama-sama, Kak. Maaf, saya pergi dulu!"
Melga melangkahkan kakinya dengan perlahan. Sangat perlahan.
Berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk sampai ke sini?
Langkah kakinya sangat pendek. Berjalan lambat bagai seekor siput. Akan tetapi, hewan berlendir itu bergerak dalam senyap. Sedangkan Melga, bunyi kruk-kruk besi bergaung setiap dia mengayunkan tongkat. Tangan itu terlihat bergetar membuatku menyadari satu hal.
Melga tidak terbiasa memakai besi panjang sebagai penompang diri. Mungkinkah apa yang dikatakan Agara benar? Bahwa Melga sebelumnya gadis normal bukan tunadaksa.
Jika benar begitu ....
Seberapa sakit yang dia tanggung ketika hal itu terenggut darinya?
Apa yang Melga katakan pada dunia yang sebelumnya mengetahui bila dia terlahir normal tanpa cacat. Mungkinkah Melga mengatakan yang sebenarnya? Atau berbohong untuk menipu diri sendiri?
Tidakkah itu ....
Sangat menyakitkan.
Tuhan ... apa mahlukMu ini tahan banting?
Jika aku yang ada di posisi Melga saat ini, akankah mampu bertahan tanpa menggores urat nadi?!
Bersikap tegar seakan tidak terjadi apa-apa. Menganggap diri tidak berbeda. Padahal kenyataan berkata sebaliknya. Kemudian berbohong pada dunia dengan mengatakan, aku baik-baik saja!
Sanggupkah aku, Tuhan? Sedangkan terkena flu-batuk saja, aku menyalahkan AsmaMu.
"Oyy, Dek. Masih trauma aja lo?"
"Ihh, jangan pegang-pegang. Bukan mukhrim!"
"Maksud Kak Pandu, apa?"
Aku bertanya sebab tak bisa menutupi rasa penasaran ini akan pernyataan kakak Rukly barusan. Kulihat Bella juga Agara menampilkan raut yang sama.
Alih-alih menjawab, Kak Pandu malah tertawa heboh. Rukly dengan gencar memukul tubuh kakaknya. Melarang untuk bercerita.
Entah karena memang usil atau kasihan melihat raut wajah kami. Kak Pandu pun menjelaskan bahwa Rukly saat kanak-kanak pernah jatuh di Ayunan. Kakinya patah dan terpaksa memakai tongkat untuk sementara waktu.
"Jadi lo ngejauhin Melga karena takut ama trauma lo itu?" tanya Agara mewakili pertanyaanku pada Rukly.
"Ya, gitu deh! Habis serem. Kaki gue kaku kayak robot."
"Lah, gue kira lo jijik karena dia cacat?!"
"Ya, kali gue jijik ama Melga. Lo kira gue serendah itu?"
"Iyalah. Manusia Jahanam!"
"Hoi!"
Aku tidak lagi memedulikan mereka yang mulai bergaduh mengejek Rukly. Pikiran ini masih tertuju pada Melga yang baru saja sampai di Aula. Tempatnya biasa duduk, mengamati sekitar.
Tuhan ... dia bahkan tidak bisa pergi ke mana-mana.