Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #2

Bab 2

“Tari!”

Tari sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Seorang perempuan berkulit putih langsat dengan rambut dikepang satu yang tersampir di depan dada, berdiri tepat di belakang Tari. Ujung rok floral sebatas mata kaki yang dikenakannya tampak sedikit melambai-lambai tertiup angin.

Sepuluh jari kakinya yang beralaskan sandal selop terlihat cantik karena polesan kuteks aneka warna terang tak senada. Asa, salah satu penghuni kos di lantai tiga itu memang sangat senang berkreasi dengan memadukan warna apa saja. 

“Kamu lagi ngapain, Tar?” tanya Asa, keningnya berkerut terheran. 

“Oh, ini aku lagi … ” Kalimat Tari menggantung karena saat kembali berpaling ke tempat semula, tidak menemukan keberadaan bocah perempuan yang tadi menatapnya. Ke mana anak itu pergi?

“Ada apa, Tari?” tanya Asa lagi, semakin penasaran. 

Tari segera berdiri. Dia mengelus tengkuknya dengan tangan kiri sambil celingukan ke sana kemari, mencari keberadaan si bocah. Bagaimana bisa dia menghilang begitu cepat?

“Kamu nggak habis ngobrol sama setan, kan, Tar?” Raut wajah Asa yang semula penasaran, berubah menjadi ketakutan. Kedua tangannya menyilang di depan badan dan mengusap-usap lengan sendiri.

Tari menggeleng. “Nggak lah. Mana ada yang begitu di sini?”

Meski kepergian bocah perempuan tadi terlalu janggal, Tari yakin dia bukan makhluk astral. Apa Asa sungguhan tidak melihatnya?

Ekor mata Tari menangkap gerakan pintu kamar paling pojok yang menutup perlahan. Anak itu pasti buru-buru masuk ke sana karena takut dengan kehadiran Tari dan Asa. Jadi dia memang bukan hantu. Namun, tetap saja ada yang mengganjal di benak Tari. 

“Terus, ada apa dong?” Asa belum puas jika pertanyaannya tidak terjawab. 

“Nggak ada apa-apa, kok, Sa,” elak Tari, saat ini memilih menyimpan rasa penasarannya sendiri. “Kamu mau masuk?” tawarnya kemudian. 

Asa mengangguk tanpa ragu. Bibirnya tersenyum lebar. Sama-sama tinggal sendirian dan umur mereka yang sepantaran, membuat Asa sering berkunjung ke kamar kos Tari. Tidak jarang juga dia menginap di sana. Mengobrolkan banyak hal tentang apa yang mereka lalui. 

Dari sekian banyak orang yang Tari kenal, Asa paling mengerti dirinya. Asa bersedia mendengarkan segala keluh kesah Tari, menemani berdiskusi, dan menyemangati saat dirinya sedang mengalami kesulitan. Asa membuat Tari nyaman dan percaya untuk menceritakan banyak hal. 

Setelah Tari membuka pintu kamar kosnya, Asa segera menyeruak masuk. Tanpa ragu perempuan itu merebahkan diri di kasur lantai setebal dua puluh sentimeter yang lebarnya pas untuk ditempati berdua. 

“Kamu beli mi lagi?” tebak Asa, melihat tas belanja di tangan Tari. Tebakannya tidak meleset sama sekali. 

Tari hanya mengangguk dan menaruh tas belanja itu di atas lemari plastik bersusun. Kamar kos Tari tidak begitu luas. Hanya ada satu ruangan berukuran tiga kali tiga meter persegi. Untung saja Tari tidak memiliki banyak barang. Baju-bajunya muat tersusun rapi di dalam lemari tiga susun. Ada satu dispenser dan penanak nasi di dekat pintu. 

Tiap-tiap lantai bangunan kos itu memiliki tiga kamar mandi untuk para penghuni. Dapur bersama hanya ada di lantai satu, dekat dengan kamar khusus yang disediakan untuk penjaga kos. Tari jarang memasak. Kalau tidak membeli makanan matang di warteg atau memesan di layanan pesan antar, dia lebih suka menyeduh mi instan menggunakan penanak nasi. Sedangkan saat pagi, dia membeli sarapan di dekat kantor. Biasanya Tari sarapan sekaligus makan siang. Atau tidak sarapan sama sekali. 

“Mi mulu, Tar. Nanti usus kamu keriting, loh!” tegur Asa, disertai candaan. 

Tari hanya tersenyum tipis. Omelan Asa itu sudah sering Tari dengar. Namun, mau bagaimana lagi? Dia tidak nyaman kalau harus memasak di dapur dan bertemu penghuni kos yang lain, kecuali Asa. Tari merasa nyaman berada di dalam kamarnya sendiri.

Lihat selengkapnya