Tari menenteng ember kosong menuruni anak tangga, dari lantai tiga menuju lantai dua, lalu berlanjut ke lantai satu. Dia baru saja menjemur pakaian. Tempat yang disediakan untuk menjemur berada di lantai tiga. Di lantai itu hanya ada empat kamar yang bisa dihuni dan dua kamar mandi.
Meski pintu-pintu kamar di semua lantai masih tertutup rapat, Tari bukanlah orang pertama yang bangun pagi ini. Sudah ada pakaian lain yang terjemur dan masih meneteskan sedikit air. Berarti orangnya baru menjemur beberapa saat sebelum Tari ke sana. Entah penghuni kamar yang mana.
Setelah sampai kamar sendiri, Tari bergegas mengganti pakaian, bersiap-siap untuk bekerja. Dia terbiasa berangkat lebih awal demi mengantisipasi kemacetan. Terkadang juga dia mampir sarapan di warung makan dekat kantor.
Kegiatan Tari yang tengah menyisir rambut pendeknya terhenti oleh sebuah dering. Dia melirik ponsel yang tergeletak di atas kasur. Nomor kontak ibunya terlihat sebagai pemanggil. Dia segera menerima panggilan itu.
“Tari, jangan lupa uangnya yang Ibu bilang tadi malam.” Suara Ibu langsung terdengar dari seberang sambungan telepon.
Seperti biasa, tidak ada pertanyaan basa-basi. Tidak ada sapaan selamat pagi. Bagi Ibu, sepertinya keberadaan Tari tidak begitu berarti. Hidup Ibu akan baik-baik saja meski anak perempuan satu-satunya itu tidak pernah lahir ke dunia ini.
Tari menggigit bibir bawahnya. Dia ingin sekali ini saja menolak permintaan Ibu yang lebih terdengar seperti perintah itu. Namun, dirinya tidak tahu harus memberikan alasan apa. Ibu bisa murka kalau keinginannya tidak terpenuhi.
“Berapa, Bu?” tanya Tari akhirnya, berharap nominal yang akan disebutkan masih dalam batas kemampuan.
“Nggak banyak, kok. Cuma tujuh ratus,” timpal Ibu lugas.
Tari tercekat. Nominal uang itu tidak bisa dibilang sedikit baginya. Ditambah tiga ratus ribu lagi, maka cukup untuk melunasi biaya sewa kos bulan depan.
“Kamu transfer sekarang aja. Nanti keburu kelupaan kalau ditunda,” imbuh Ibu.
Belum sempat Tari bertanya akan digunakan untuk apa uang itu, Ibu sudah mengakhiri obrolan mereka tanpa aba-aba. Tari hanya bisa menghela pasrah.
Layar ponsel kembali terang setelah diketuk dua kali. Tari lalu menggulir aplikasi perbankan di ponselnya. Permintaan maupun perintah Ibu adalah hal mutlak bagi Tari. Dia harus segera melakukannya kalau tidak ingin dilabeli sebagai anak tidak tahu terima kasih, dan dibanding-bandingkan dengan kedua saudara prianya.
Kedua jempol Tari sibuk mengetik. Dalam hitungan detik, uang sebanyak tujuh ratus ribu Rupiah telah berpindah tempat hanya dengan satu kali klik. Tari tidak lupa mengirimkan bukti pengiriman uang tersebut kepada ibunya.
Beberapa saat Tari termangu, menatap jumlah saldo dalam rekeningnya yang berkurang lagi. Tidak ada ucapan terima kasih dari Ibu ataupun kakaknya setelah dia mengirimkan uang yang mereka minta. Sekadar konfirmasi bahwa uangnya telah diterima pun tidak mereka lakukan.
Tari tidak bermaksud pamrih, apalagi pada keluarga sendiri. Ibu selalu menekankan sesama saudara kandung harus saling membantu, meski pada kenyataannya sampai saat ini Tari tidak pernah menerima bantuan dari mereka. Dia bahkan tidak diberi tahu akan diapakan uang itu. Ibu pasti marah kalau Tari bertanya lebih jauh. Padahal Tari sangat berhak mengetahui segala hal atas hasil kerja kerasnya.
Menjadi Tari rasanya selalu berada dalam posisi serba salah. Menolak membantu hanya akan mengundang amarah dan caci maki Ibu dan kedua saudaranya. Namun, jujur saja dirinya juga membutuhkan uang itu. Tari perlu menabung untuk bersiap menghadapi hal-hal mendesak yang bisa terjadi kapan saja meski dirinya tidak begitu tertarik dengan masa depan. Dia hanya bertahan hidup karena terlalu takut mengakhirinya.
Bergelut dengan segala kemelut dalam benak tidak akan ada habisnya. Tari memilih melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Dia menyisir rambutnya yang pendek. Kemudian mengaplikasikan berbagai macam kosmetik di wajah dan bibirnya. Tari tidak begitu andal merias diri, tetapi pekerjaan menuntutnya tampil menarik.
Setelah wajahnya selesai dipoles bedak serta sedikit perona pipi dan pewarna bibir, Tari merapikan pakaian yang dikenakan, lalu mencangklong tas kerja setelah memasukan ponsel ke dalamnya. Tidak lupa dia melingkarkan jam di pergelangan tangan kiri, meski fungsinya untuk memeriksa waktu telah terganti jam digital pada layar telepon genggam.
Tari tiba-tiba teringat sebatang cokelat dan sebungkus permen kenyal yang dibelinya kemarin malam. Dia segera mengambil dua camilan yang masih berada dalam tas belanja itu dan memindahkannya ke kantong plastik kecil. Dia berniat akan memberikan pada bocah perempuan di kamar sebelah.
“Tapi, aku harus ngomong apa?” Tari mendadak bimbang.
Aneh rasanya kalau Tari tiba-tiba mengetuk pintu kamar tetangga sepagi ini. Namun, menunggu waktu pulang kerja pun sepertinya terlalu lama. Bisa saja bocah perempuan itu hanya sebentar di sini dan tidak ada kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.
Napas terhela dari hidung Tari yang tidak terlalu mancung. Bentuknya mirip seperti jambu air, tetapi dengan ukuran lebih mungil dan tidak berwarna merah. Dia memutuskan membuang rasa malu, daripada berujung dihantui rasa penasaran selamanya.