Tempat menjemur di lantai tiga menjadi salah satu spot favorit Tari di kosnya. Dia bisa melihat kelap-kelip lampu di berbagai gedung dari kejauhan pada malam hari. Penghuni kos lainnya hanya datang ke area ini saat akan menjemur atau mengangkat pakaian mereka. Tidak jarang juga pakaian-pakaian itu dibiarkan begitu saja saat musim kemarau.
Udara malam yang sejuk menyentuh wajah Tari. Di belakangnya, beberapa baju sesekali berkelebatan oleh angin. Lampu-lampu cantik yang sejak tadi dipandanginya mulai temaram, tetapi suara bising kendaraan tidak kunjung teredam. Kota ini tidak pernah mati meski malam terbunuh sunyi.
Genap dua minggu Tari tidak berinteraksi dengan keluarganya. Tumpukan kewajiban kerja membuat Tari tidak sempat menghubungi Ibu dan dua saudara laki-lakinya meski hanya lewat pesan teks yang seringnya juga diabaikan. Tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang menanyakan kabar anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka. Senyap itu justru membuat Tari yakin keluarganya baik-baik saja tanpa kekurangan apa pun. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, mereka pasti akan mencari Tari dan menjadikannya solusi.
Tari menatap langit yang tampak pekat terselimuti polusi dengan pandangan kosong. Angin malam yang sepoi-sepoi membuat rambut-rambut halus di tengkuknya berdiri. Di sebelahnya, perempuan berambut panjang di kepang satu memejamkan kedua mata, membiarkan dingin menyapa wajah ayunya.
“Sa,” panggil Tari, suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang terbawa angin lalu.
“Hm?” Asa sontak menoleh dan membuka matanya.
Asa menatap Tari dengan perhatian. Dia seolah bisa menebak bahwa temannya itu sedang kalut oleh pikiran-pikiran yang sulit dijabarkan. Belakangan ini Tari tampak kelelahan.
“Kamu capek banget, ya?” Asa tahu betul jawaban dari pertanyaan itu.
“Nggak tau,” kilah Tari, pandangannya masih lurus ke hamparan kelap-kelip lampu yang jauh dari jangkauan mereka.
“Perasaan kamu valid, Tar. Kalau capek, ya nggak apa-apa. Nggak perlu denial gitu,” ujar Asa, gemas karena Tari selalu bersikap seperti itu, mengabaikan perasaan sendiri dan berdalih tidak tahu.
Helaan panjang yang Tari ambil menjeda hening. Dia menoleh dan mendapati Asa yang masih menaruh atensi penuh padanya. Andai tidak pernah bertemu Asa, hanya ada sunyi yang menemani Tari setiap melalui kejenuhan seperti malam ini.
“Aku …” Tari menjeda ucapannya. Ragu harus mulai dari mana menumpahkan keluh kesahnya.
“Kamu kenapa? Ceritain semuanya, Tar. Aku dengerin.” Asa tidak bercanda. Dia semakin intens memusatkan fokusnya pada Tari.
Lagi-lagi Tari menghela panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Entah sudah berapa kali dia melakukan hal yang sama.
“Rasanya kayak tersesat, Sa,” ungkap Tari. Kali ini berbalik memunggungi hamparan lampu-lampu dan bersandar pada dinding yang tingginya hanya sebatas dada orang dewasa.
Asa tidak segera menanggapi. Dia membiarkan Tari berbicara, memberikan ruang yang dibutuhkan oleh temannya itu untuk mencurahkan isi hati.
“Mungkin ini kedengarannya aneh, tapi aku benar-benar merasa kehilangan arah, Sa. Setiap kali memikirkan pekerjaanku, rasanya sesak,” imbuh Tari, pandangannya saat ini tertuju pada tegel persegi di tempat menjemur itu.
Asa menatapnya dengan sabar, lalu memegang bahu Tari dengan lembut, dan bertanya, “Kenapa kamu merasa kayak gitu, Tar?”
Tari menggeleng lesu. “Nggak tau.”
Giliran Asa yang menghela napas pelan sekali. Jawaban Tari yang terus berulang seperti itu menandakan dirinya memang sedang tersesat.
“Aku nggak tau harus gimana, Sa. Setiap hari, rasanya hidupku kayak nggak ada artinya. Aku muak sama rutinitasku yang selalu berulang, itu-itu aja.” Tidak ada penekanan berarti dalam kalimat yang Tari ucapkan. Alih-alih muak, dia lebih tampak seperti sudah bosan menjalani kehidupan.
Tari sepertinya benar-benar kelelahan. Dia perlahan duduk, menekuk kedua lutut dalam pelukan. Wajahnya semakin tertunduk.
Asa ikut duduk di sebelah Tari. Dia menyelonjorkan kedua kaki. Jemari kakinya yang berhias kuteks warna-warni tampak cantik dari sela sandal selopnya.
“Kuku kamu lucu,” celetuk Tari tiba-tiba.