Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #5

Bab 5

Pagi itu terasa lebih berat dari hari-hari kemarin. Tari menatap bayangan diri dalam cermin kecil di kamarnya. Mata sembap dan lingkaran hitam di bawah kelopaknya menunjukkan betapa lelah Tari. Bukan hanya tidur yang dia butuhkan. Ada perasaan mengganjal yang makin hari makin terasa mencekik.

“Aku harus tetap kerja,” gumam Tari, mencoba menguatkan diri, tetapi tidak ada semangat di balik kalimat itu. 

Tari mengenakan pakaian kerjanya, rok hitam dan kemeja putih, tidak lupa kartu tanda pengenal sebagai karyawan bank menggantung di lehernya. Sepatu hitam mengkilap yang dikenakan, tidak lagi memberikan kebanggaan. Hanya mengingatkan pada tanggung jawab yang kian terasa menekan. Setiap langkah menuju kantor terasa seperti beban. Sebuah perjalanan tanpa tujuan yang hanya berujung pada kehampaan.

Setelah menarik napas panjang, Tari keluar dari kamarnya, dan berjalan menuju pintu kos. Sebelum sampai di parkiran, dia bertemu dengan penjaga kos yang sedang duduk sambil menatap layar ponselnya. Terdengar suara, lagu viral dari sebuah aplikasi media sosial. 

“Selamat pagi, Pak,” sapa Tari dengan sebuah senyum simpul yang dipaksakan. 

“Eh, Mbak Tari. Selamat pagi. Udah mau berangkat aja jam segini,” balas pria lima puluh tahunan itu, selalu ramah pada penghuni kos, apalagi yang membayar tepat waktu seperti Tari. 

“Iya, Pak,” balas Tari singkat, lalu buru-buru melanjutkan langkahnya untuk menghindari basa-basi lebih lanjut. 

Begitu motornya dinyalakan, Tari langsung tancap gas. Dia lebih suka berangkat lebih pagi agar tidak terjebak kemacetan yang dapat membuat tingkat stres makin tinggi. Sampai di kantor sebelum jam kerja dimulai justru bisa membuktikan dedikasi Tari yang terekam oleh absensi menggunakan sidik jari. 

Pekerjaannya di bank yang dulu pernah membuat Tari merasa berguna, kini hanya menjadi beban berat yang terus menekan. Setiap hari, Tari harus menghadapi tumpukan berkas, calon nasabah menuntut pelayanan ekstra cepat, dan target gila yang harus dicapai.

Tari duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan laporan dan data nasabah existing maupun calon debitur. Dia harus menyelesaikan analisis kredit untuk beberapa nasabah yang akan diteruskan kepada atasannya. 

Jari-jari Tari mengetik dengan lambat, lebih karena kewajiban daripada rasa tanggung jawab. Di sekitarnya, rekan-rekan kerja lain tampak sibuk dengan berkas pekerjaan masing-masing.

Target yang tidak kunjung tercapai, para nasabah yang makin sulit dihadapi, dan suasana kerja monoton membuat Tari terkadang merasa hidupnya tidak berarti. Meski dia berusaha tetap fokus pada pekerjaan, pikirannya selalu melayang, terjebak dalam pusaran kecemasan yang makin membesar.

“Tar, kamu baik-baik aja?” suara Rina, rekan satu timnya, tiba-tiba memecah kesunyian.

Tari sedikit tersentak. Dia menoleh dan melihat Rina menatapnya dengan wajah cemas. 

“Aku baik-baik aja, kok, Mbak.” timpal Tari sambil tersenyum tipis. Terlihat sekali dia memaksakan garis bibirnya melengkung ke atas.

Sayangnya, senyum itu tidak cukup meyakinkan. Rina bisa merasakan ada yang salah, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya membantu Tari. 

“Kamu yakin baik-baik aja? Kamu kelihatan agak beda belakangan ini. Kurang tidur, ya?” tanya Rina lagi. 

Tari tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang mulai muncul. “Iya, Mbak. Banyak yang harus diselesaikan sebelum akhir bulan.”

Rina mengangguk maklum. “Kalau kamu overload, jangan ditanggung sendiri, ya. Kita di sini satu tim, seharusnya saling dukung.”

“Aman, Mbak. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” balas Tari cepat cepat, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut.

Tari tidak mungkin melimpahkan pekerjaan pada rekan yang lain meski satu tim sekalipun. Dia tahu semua staf sudah menanggung beban masing-masing. Mereka juga dikejar target seperti dirinya. Tari mana mungkin tega menambahkan beban yang makin memberatkan. 

“Oke, deh. Semangat, ya!” ujar Rina, sambil menepuk bahu kanan Tari. 

Rina akhirnya menjauh dari kubikel Tari dan kembali ke meja sendiri. Tari kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Percakapan singkat dengan Rina itu membuatnya merasa tersentuh. Ternyata masih ada yang peduli padanya dan mau menawarkan bantuan. 

Tari berusaha fokus menyelesaikan semua pekerjaan satu per satu. Jari-jarinya lincah mengetik, mengisi formulir, dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan. Sesekali dia menghubungi klien atau menerima telepon dari yang lain. Berbalas pesan pun dia sempatkan di sela-sela kegiatan. Semua itu dia lakukan dengan bergegas. 

Lihat selengkapnya