Terik yang menyengat ubun-ubun kepala tidak menghalangi Tari melakukan tugasnya. Setelah makan siang, dia bersama surveyor menyambangi sebuah rumah di kawasan Lengkong Gudang Barat untuk mengecek lokasi rumah calon debitur yang akan diberi pinjaman oleh bank mereka.
Tari dipersilakan duduk di ruang tamu setelah memotret beberapa bagian rumah dari berbagai sudut. Fokusnya tertuju pada pigura besar yang terpajang di salah satu dinding ruangan itu. Sebuah foto keluarga yang tidak terpajang di rumah Tari. Jumlah anggotanya mengingatkan Tari pada keluarga sendiri. Bapak, ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Mereka semua tersenyum bahagia.
“Kalau boleh tau, pengajuan kreditnya mau digunakan untuk apa, Pak Dimas?” tanya Alfi, rekan kerja Tari yang bertugas melakukan analisis calon debitur.
Sebenarnya, tujuan pengajuan kredit sudah tercantum dalam surat permohonan. Namun, tetap saja mereka perlu menanyakan hal-hal semacam itu, sekaligus untuk lebih mengenal calon debitur. Mereka tidak boleh sembarangan menerima nasabah meskipun dikejar target tiap bulannya. Kelayakan calon debitur menjadi pertimbangan untuk mengurangi risiko gagal bayar atau kredit macet.
“Oh, gini, Mas Alfi, anak bungsu saya yang perempuan itu kan sudah dewasa, sudah punya calon juga. Saya mau renovasi rumah ini biar nanti kalau ada hajatan sudah rapi dan lebih bagus,” tutur Pak Dimas menjawab pertanyaan Alfi.
“Oh, gitu toh, Pak?” Alfi manggut-manggut.
“Ya, namanya anak bungsu, perempuan satu-satunya lagi, jadi saya pengin kasih yang terbaik buat dia. Nanti kan rumah ini dia yang nempatin juga,” imbuh Pak Dimas.
Ada perasaan mengganjal di hati Tari mendengar alasan calon debiturnya itu. Beberapa pertanyaan berjejalan memenuhi kepala. Apa bapaknya pernah berpikir hal yang sama dengan Pak Dimas? Apa keluarganya menyiapkan sesuatu untuk dirinya? Atau harus menjadi anak bungsu dulu agar mendapatkan kasih sayang seperti anak Pak Dimas itu?
“Anak kami ini kayaknya sepantaran sama Mbak Tari,” timbrung istri Pak Dimas, “Mbak Tari udah menikah?”
Tari yang pikirannya sedang tidak di tempat itu, mendadak gelagapan. Suaranya mendadak hilang.
“Mbak Tari ini cuma fokus kerja, Bu. Belum kepikiran ke sana kayaknya,” timpal Alfi, berusaha mencairkan suasana.
“Mas Alfi sendiri, udah punya pasangan?” Giliran Pak Dimas yang bertanya. “Kalau belum kan siapa tahu kalian berjodoh,” imbuhnya.
“Saya sudah tunangan dua bulan yang lalu, Pak. Makanya ini lagi kejar setoran biar bisa cepat-cepat nikah,” timpal Alfi, diakhiri gelak tawa yang diikuti oleh Pak Dimas dan istrinya, sedangkan Tari memaksakan senyuman.
Urusan pekerjaan membuat Alfi dan Tari beberapa kali harus pergi bersama. Namun, kedekatan mereka berdua hanya sebatas rekan kerja. Lagi pula, Tari memang belum berpikir ke arah pernikahan, seperti kata Alfi.
Tari tidak pernah merencanakan apa pun. Dia bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam sebuah hubungan bernama pernikahan dan membangun keluarga. Masa depan bagi Tari seperti ilusi. Dia hidup hanya untuk hari ini.
Perbincangan mereka berlanjut, didominasi oleh tiga orang yang bercerita banyak hal, terutama tentang proses pengajuan kredit sampai dengan pencairan dananya. Tari hanya mendengarkan obrolan mereka, sambil sesekali menimpali seperlunya. Kalau boleh jujur, dia lebih tertarik memandangi pigura besar yang berada tepat di seberangnya duduk.
Kalau aku lahir di keluarga yang lain, apa hidupku bisa lebih bahagia? Pengandaian itu sempat mampir di benak Tari, tetapi dia segera menepisnya.
Tanpa bermaksud menyalahkan takdir, Tari sesekali membayangkan hidup sebagai orang lain. Bukan Tari yang terlahir dan tumbuh bersama keluarganya saat ini. Namun, dia tahu untuk tidak terlalu larut dalam imajinasi semu itu. Bagaimanapun dia tetap hidup sampai saat ini adalah bukti bahwa Sang Pencipta masih menyayanginya. Tari harus yakin bahwa dirinya mampu menjalani semua ini meski tidak memiliki siapa pun yang memberi dukungan.
Beberapa waktu setelahnya, Alfi dan Tari berpamitan pada calon debitur mereka. Keduanya meninggalkan rumah itu dengan mengendarai mobil operasional kantor. Tari duduk di sebelah Alfi yang fokus mengemudi, sedangkan dirinya memandang ke luar jendela.kiri. Tari seakan terhanyut menyaksikan hiruk pikuk di sepanjang jalan yang tak pernah sepi, orang-orang sibuk berinteraksi.