Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #7

Bab 7

“Selamat pagi!” Sapaan Asa membuat nyawa Tari tercerabut dari alam mimpi. 

Tari sontak membuka mata dan menampilkan wajah cemberutnya. Bukan karena tidak menyukai kehadiran Asa, Tari hanya berharap bisa tidur lebih lama. Mungkin akan lebih baik kalau selamanya saja.

Sepertinya Tari tadi sedang bermimpi indah. Entah apa, Tari lupa. Namun, dia yakin mimpinya jauh lebih menyenangkan daripada dunia nyata. Dia betah berlama-lama di alam mimpi. Kalau perlu, tidak usah bangun lagi. 

Berbeda dengan wajah muram Tari, Asa terlihat cerah ceria sekali. Rambutnya yang dikepang satu menguarkan aroma wangi. Asa selalu bilang, sesama orang-orang kesepian harus saling menemani dan menyemangati. Tari pernah menawarkan mereka menyewa satu kamar saja agar lebih hemat biaya sewa juga, tetapi Asa menolak tawaran itu. Mungkin lebih leluasa tinggal sendiri. 

“Ayo bangun!” Asa menyingkap selimut Tari. “Kita jadi pergi kan?”

Tari bangun dari posisi berbaringnya sambil mengernyit. Dia tidak ingat sudah membuat janji dengan Asa. Padahal biasanya Tari mengingat semua hal, terutama janji kepada orang lain. Tari pernah mendengar bahwa janji adalah utang yang akan ditagih di hari penghakiman kalau tidak ditunaikan selagi hidup di dunia.

“Kita mau pergi ke mana?” tanya Tari dengan raut wajah heran. Dirinya benar-benar lupa. 

Asa berdecak. Kedua tangannya bersedekap, dibarengi kepala yang menggeleng ke kiri dan kanan. 

“Kamu beneran lupa atau malas keluar lagi?” cibir Asa. 

Tari memang jarang keluar kamar kosnya selain untuk keperluan kerja dan membeli makanan. Dia lebih senang menyendiri di kamar. Libur bagi Tari adalah waktunya bersembunyi dari dunia. Ruangan ini menjadi tempat paling aman baginya. 

“Maaf, aku nggak ingat,” ucap Tari menyesal karena melupakan janjinya. 

Asa mengesah. Tangannya yang semula bersedekap, turun ke pangkuan. Dia mencondongkan badan ke arah Tari. Mimik mukanya serius sekali. 

“Buruan mandi, gih!” Asa mendorong Tari untuk bangkit. “Kali aja kamu jadi inget kita mau ke mana kalau udah seger.”

Tari tidak mendebat Asa. Biasanya dia bangun lebih siang saat hari libur karena kasurnya terasa posesif. Kali ini, mau tidak mau dia harus bangun pagi demi menunaikan janji meski dirinya belum ingat sama sekali.

Dengan membawa baju ganti dan handuk tersampir di bahu kiri, Tari mengambil kunci di atas lemari, lalu membuka pintu. Dia meninggalkan Asa di kamarnya sendirian, seperti biasa. Asa tidak akan ke mana-mana, kecuali tiba-tiba kembali ke kamarnya karena ada sesuatu yang mendesak. Tari percaya pada Asa sepenuhnya.

Tari sempat melirik kamar sebelahnya. Pintu kamar itu masih tertutup rapat. Mungkin penghuninya masih tidur. Tari belum sempat berkenalan dengan mereka. Ah, maksudnya, dia ingin berkenalan dengan bocah perempuan kecil yang membuatnya penasaran sampai saat ini.

Helaan lirih terembus dari hidung Tari. Dia kembali meneruskan langkah, tetapi atensinya tiba-tiba tertarik oleh suara pintu. Tari menoleh. Sayangnya, pintu yang terbuka adalah kamar di seberang. Seorang perempuan keluar dari sana dan menyapanya dengan senyum canggung. Tari membalas sapaan itu tidak kalah canggung. Mereka sama-sama mematung, menunggu satu sama lain melangkah lebih dulu. 

“Mbak mau mandi juga?” tanya Tari akhirnya, melihat peralatan mandi yang dibawa si tetangga, dan dijawab anggukan oleh perempuan itu. 

Tari mengangguk-angguk kecil. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia berjalan mendahului ke kamar mandi. Tetangga perempuannya memasuki bilik di sebelah kiri.

Setelah mengusir sisa-sisa kantuk dengan mengguyur diri dan berganti baju, Tari meninggalkan bilik kamar mandi. Dia kembali ke kamarnya sendiri. Asa sudah pergi. Sepertinya perempuan itu bosan menunggu, padahal Tari tidak pernah lama berada di kamar mandi. Kecuali kalau mencuci baju lebih dulu. 

“Mending aku siap-siap dulu, deh,” pikir Tari, nanti dia akan menghubungi Asa saat sudah siap pergi.

Memiliki rambut pendek memudahkan Tari dalam merias diri. Dia hanya perlu menyisirnya. Kalaupun setelah keramas, tidak perlu waktu lama mengeringkannya. Selesai dengan rambut, Tari mengaplikasikan tabir surya ke seluruh wajah, lalu memoles lipstik tipis ke bibir. Beres. Dia siap pergi. 

Saat akan membuka pintu, cacing-cacing di perut Tari mendadak demo, menimbulkan bunyi keroncongan yang mengganggu telinga. Untung saja Tari sedang sendirian. 

“Makan nanti aja lah,” ujar Tari mengambil keputusan. 

Pintu terbuka. Asa sudah menunggu Tari dengan senyuman lebar. Senyum yang sepertinya tidak pernah luntur dari bibir perempuan itu. Hidup Asa sepertinya selalu dipenuhi kebahagiaan, hingga tidak ada celah untuk kesedihan. Kalau diibaratkan, hidup Asa seperti langit yang dihiasi awan cerah dan pelangi indah, sedangkan kehidupan Tari adalah awan penuh kabut yang bisa dihantam badai kapan saja.

“Aku masih belum ingat kita mau pergi ke mana,” ucap Tari jujur. 

Entah karena banyak pekerjaan yang menjejali otaknya atau masalah lain, sampai-sampai Tari melupakan janjinya dengan Asa. Dia bahkan tidak ingat kapan janji itu dibuat. 

Lihat selengkapnya