Yunita, perempuan muda yang lebih akrab disapa Mpok Yuyun, mengikat selendang berwarna kuning di pinggangnya. Belasan bocah perempuan di hadapan Mpok Yuyun melakukan hal serupa. Mereka berbaris rapi di teras rumah yang luas, menunggu instruksi dari Mpok Yuyun. Sementara itu, satu bocah perempuan lain hanya berani menyaksikan interaksi mereka dari balik pohon mangga di pelataran rumah.
Seorang perempuan dengan rambut putih yang sedikit terlihat meski mengenakan topi rajut, duduk di kursi goyang terbuat dari rotan. Orang-orang memanggil perempuan itu dengan sebutan Nyai. Nenek Mpok Yuyun yang memiliki sanggar tari tradisional tempat mereka sedang belajar menari saat ini. Nyai sudah pensiun. Bakat dan sanggar Nyai diwariskan kepada cucu perempuan satu-satunya untuk mengajari anak-anak yang tinggal di sekitar sana.
Nyai mengamati dengan saksama bagaimana belasan bocah perempuan itu mengikuti Mpok Yuyun berlenggak-lenggok sambil sesekali mengibaskan selendang masing-masing. Bocah perempuan di balik pohon pun masih khidmat menyaksikan mereka dan merekam setiap gerakan dalam ingatan. Tiba-tiba, Nyai melirik ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Si bocah perempuan gugup bukan main, seperti maling yang baru saja tertangkap basah.
Bocah perempuan itu buru-buru meninggalkan tempat persembunyian. Dia berlari pulang ke rumah, mendekap erat pewangi pakaian yang baru saja dibeli dari warung sembako.
“Lama banget. Kamu mampir ke mana dulu, Tari?” tanya Ibu begitu si bocah perempuan sampai di rumah dengan napas tersendat-sendat. “Udah dibilang langsung pulang, banyak yang harus dikerjain, malah kelayapan.”
Tari kecil mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan. Dia tidak membantah ucapan ibunya ataupun membela diri. Tari tahu dirinya salah karena tidak bergegas pulang dari warung.
“Tari aja yang setrika, Bu,” ucap bocah itu, buru-buru mengambil alih botol penyemprot pewangi pakaian dari tangan ibunya.
Tari tidak tega melihat Ibu yang perutnya sudah membesar itu harus bekerja keras. Ibu selama ini bekerja sebagai buruh cuci dan setrika pakaian, membantu Bapak yang penghasilannya tidak menentu dari pekerjaan serabutan. Beberapa bulan ini Bapak tidak pernah pulang, jadi Ibu harus bekerja lebih keras lagi untuk persiapan biaya persalinan.
Meski sedang mengandung dan sudah memasuki bulan persalinan, Ibu masih melakukan pekerjaannya. Dibandingkan dengan jasa laundry, upah Ibu lebih terjangkau. Ibu juga cekatan dan hasilnya memuaskan. Jadi, beberapa tetangga yang tidak sempat mengurusi pakaian sendiri, lebih senang memercayakannya kepada Ibu.
Untung saja Tari sudah terbiasa mencuci dan menyetrika pakaian sendiri. Hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan yang Ibu kerjakan. Jadi, Tari dapat diandalkan sebagai pengganti saat Ibu kelelahan. Pergerakan Ibu semakin kesulitan seiring perutnya yang membesar, sedangkan kakak pertama Tari laki-laki, Ibu melarangnya membantu.
Tari menggelar alas kain berlapis-lapis di lantai. Sementara itu, Ibu duduk di sofa butut yang warna cokelatnya sudah begitu pudar. Tangan kurus Tari mencolokkan kabel setrikaan dengan sedikit penekanan agar posisinya sesuai. Sambil menunggu alar itu memanas, Tari memisahkan pakaian sesuai bahan dan ukuran. Bahan yang mudah terbakar dan berukuran kecil akan Tari dahulukan proses penyetrikaannya.
“Bu, kalau nanti adeknya lahir cewek, Tari boleh ajakin belajar nari di tempat Mpok Yuyun?” tanya Tari menatap penuh harap pada Ibu yang tengah mengelus-elus perut buncit sendiri.
Ibu menghela napas. USG memang sudah umum digunakan, tetapi Ibu memilih tidak mengetahui jenis kelamin si bungsu sebelum lahir. Biar saja menjadi kejutan pada hari kelahiran nanti.
“Ibu, sih, pengennya anak cowok aja,” timpal Ibu.
Tari memanyunkan bibir. Dia tidak tahu mengapa Ibu lebih menyukai anak laki-laki. Ibu juga memperlakukan si sulung dengan istimewa. Tari hampir tidak pernah melihat Ibu mengomel pada kakaknya. Kalau hanya ada satu potong daging ayam untuk lauk makan mereka, si sulung yang akan mendapatkannya. Tari harus bersyukur hanya dengan mengendus aroma ayam goreng atau sekadar mencicip kuah opor.
“Lagian, kamu ngapain belajar nari segala? Nggak ada gunanya,” imbuh Ibu.
Debas lirih terembus, Tari mengalihkan pandangan dari Ibu dan mulai menyetrika baju satu per satu.
“Cita-cita Tari pengen jadi penari, Bu,” ucap Tari lirih.
“Nama kamu Tari, tapi bukan berarti harus jadi penari. Lagian, mana ada duitnya kalau jadi penari gitu-gitu. Kamu mending sekolah yang bener, terus kerja biar punya banyak duit,” tandas Ibu panjang lebar.
Tari tidak bicara lagi. Dia khusyuk menyetrika sambil mengubur keinginannya itu dalam-dalam. Tari akan menuruti perintah Ibu. Dia hanya perlu lulus sekolah tepat waktu, lalu bekerja, dan menghasilkan banyak uang. Dengan begitu, Ibu tidak perlu susah payah bekerja lagi. Jika Ibu bahagia, hidup Tari akan baik-baik saja.
***