Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #9

Bab 9

Langit Tangerang terlihat lebih kelabu dari biasanya. Matahari sepertinya enggan menampakkan diri di balik awan tebal yang menggantung rendah. Tari yang baru saja selesai menjemur baju, berdiam diri sambil menatap kejauhan. Tatapannya kosong, mencerminkan kekacauan dalam pikiran yang makin tidak terkendali. Napasnya terasa berat, seakan beban yang dirasa makin mengimpit dadanya.

Sudah seminggu ini Tari merasa ada yang aneh pada dirinya. Dia sulit tidur. Malam-malamnya diisi dengan berguling ke kanan dan kiri di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap, atau sesekali bangun untuk memeriksa jam di ponselnya. Setiap kali dilihat, waktu selalu menunjukkan pagi makin dekat, sedangkan matanya tetap terbuka lebar. Otaknya menolak untuk diistirahatkan.

Tari merasa ini bukan hanya karena kelelahan semata. Ada sesuatu yang menyelubungi pikirannya. Namun, dia tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengurai semua ini.

Setelah menghela napas lumayan panjang, Tari memutuskan meninggalkan tempat menjemur dan kembali ke kamarnya membawa ember kosong. Langkah Tari tidak bertenaga, seperti jeli. Padahal ini masih pagi. 

Tari memasuki kamar. Ponselnya yang tergeletak di lantai dekat kasur, mendadak bergetar. Panggilan masuk dari abangnya. Tari memandangi ponsel yang masih terus bergetar dengan layar menyala terang. Dia ragu menerima telepon itu. Namun, mengabaikannya pun terasa keliru. 

“Nggak perlu diangkat!” Larangan Asa membuat Tari terkesiap. 

 Tari menoleh ke arah Asa yang tengah bersandar di pintu kamarnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Wajah perempuan itu menyiratkan kalau larangan tadi benar-benar serius. 

“Kenapa?” Tari merasa perlu memiliki alasan kuat menolak telepon dari kakak kandungnya. 

“Sekali-sekali kamu perlu mengabaikan mereka. Biar mereka tau kalau nggak bisa seenaknya ke kamu. Telepon kalau ada maunya aja,” omel Asa panjang lebar. “Lagian masih pagi juga.”

Meski tidak berniat mengabaikan, pada akhirnya panggilan masuk itu terlewatkan. Tari membiarkan ponselnya terus bergetar sampai berhenti sendiri bersama layar yang menjadi gelap kembali. 

Asa beranjak mendekati Tari. Mereka saling berhadapan. Tatapan Asa selalu hangat dan menenangkan seperti biasa. Tari merasa aman dan nyaman saat bersamanya.

Hanya Asa yang mengerti Tari. Hanya Asa yang mengkhawatirkannya. Hanya Asa yang peduli padanya. Padahal, di antara mereka berdua tidak ada hubungan apa-apa. Asa dan Tari hanya dua orang asing yang secara kebetulan dipertemukan sebagai tetangga di kosan ini. Tari juga lupa sejak kapan dan bagaimana mereka bisa dekat seperti sekarang. 

Senyum Asa terkembang. Kedua tangannya memegang bahu Tari, seolah sedang menyalurkan energi. 

“Kalau masih pagi itu, sebaiknya hindari hal-hal negatif. Kamu tau sendiri abangmu itu bad vibe, kan?” Asa sedikit menyindir di akhir kalimatnya. 

Tari membalas senyuman Asa dengan menyematkan getir di bibir. Dia tidak menampik sindiran Asa. Mau dielak sekeras apa pun, itu adalah fakta. Asa memang paling mengerti Tari dan segala huru-hara dalam hidupnya.

“Mending sekarang kamu siap-siap berangkat kerja. Jangan lupa sarapan yang enak. Kamu butuh tenaga banyak untuk menghadapi hari ini,” imbuh Asa sambil menepuk-nepuk bahu Tari dengan lembut, lalu berbalik. 

“Kamu udah mau pergi?” tanya Tari saat Asa nyaris meninggalkan kamarnya. 

Asa mengangguk. “Ada janji sama Mas Pacar,” timpalnya, diakhiri kerlingan genit. 

Ah, hidup Asa rasanya sempurna. Semua dia punya. Orang tua yang selalu menanyakan kabarnya. Pekerjaan yang sesuai impian. Juga seorang pacar. Kehidupan seperti itu yang Tari idamkan. 

“Mau ikut?” Asa balik bertanya. 

Tari buru-buru menggeleng. Dia harus bekerja. Lagi pula, dirinya tidak ingin mengikuti Asa ke mana-mana. Mereka punya kehidupan masing-masing yang harus dijalani. 

“Semoga harimu menyenangkan, Tari,” ucap Asa sambil melambaikan tangan kanan. 

“Kamu juga, Asa,” timpal Tari. 

 

***


Lihat selengkapnya