Semangat hidup Tari makin tergerus keputusasaan. Tidak ada lagi tujuan. Tidak ada lagi keinginan. Tidak ada lagi harapan. Tari masih bertahan karena pagi ini dia lagi-lagi diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan.
Tari serupa boneka kayu yang yang dikendalikan oleh tangan pemiliknya. Berjalan tanpa arah pasti. Raganya seperti mati. Namun, napasnya masih terus berembus tanpa henti.
Lelah. Entah bagaimana Tari bisa melepaskan beban-beban yang terus memeluknya dengan erat.
Getar ponsel diiringi dering yang menyambut kewarasan Tari membuyarkan segala emosi. Panggilan masuk dari kepala divisi. Sepagi ini. Waktu operasional kerja masih satu jam lagi. Tari bahkan masih berada di kamar kosnya, merias wajah agar tidak seperti orang mati.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Tari, menerima panggilan masuk itu meski dia bisa saja mengabaikannya karena masih di luar jam kerja, “ada masalah, Pak?”
Tari yakin sekali kepala divisinya tidak mungkin menghubungi hanya karena iseng untuk bertanya apa menu sarapan pagi ini.
“Tar, bisa datang lebih pagi? Saya ada meeting jam setengah sembilan, tapi ada yang perlu saya bahas dulu sama kamu,” ungkap laki-laki bersuara berat dari seberang sambungan.
Tari mengernyit, tetapi mengiyakan saja tanpa bertanya lebih jauh perihal apa yang tampaknya begitu mendesak. Dia tidak sedang berminat untuk bicara banyak. Lagi pula, dia akan segera tahu begitu mereka bertemu di kantor.
Setelah kesepakatan dibuat, telepon itu mati. Tari menyambar kunci motor di atas lemari plastik, bersamaan dengan mengambil kunci kamar. Saat membuka pintu, dia dikejutkan oleh bocah perempuan yang berdiri tepat di depan kamarnya.
Bocah itu mendongak, menatap Tari dengan tatapan yang masih sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Sendu. Tari merasakan kesedihan mendalam yang tiba-tiba menderanya.
Mata bocah perempuan itu bulat seperti kelereng. Hidungnya kecil. Bibirnya juga mungil, terbingkai dalam wajah yang juga bulat.
“H–hai… ” sapa Tari, canggung dan bingung. Entah apa yang harus dia lakukan.
Tari seharusnya buru-buru pergi dari sana. Dia sedang dikejar waktu agar tidak terlambat bertemu dengan atasannya. Namun, ada hal yang membuat langkahnya tertahan. Dia seakan-akan tidak memiliki tenaga untuk sekadar mengangkat kaki. Tidak tega hati meninggalkan bocah berwajah murung itu.
“Kakak kamu udah pergi?” Tari kembali bersuara, sambil berjongkok agar tatapannya sejajar dengan tinggi si bocah.
Tidak ada jawaban. Tari ragu untuk mengambil kesimpulan bahwa bocah itu memang tidak bersuara. Bisa saja dia diajari untuk tidak berbicara dengan orang asing meski ini bukan pertemuan pertama mereka.
“Kamu sendirian?” tanya Tari lagi dan bocah itu tetap bungkam. “Mau ke mana? Ada yang bisa kakak bantu?”
Bocah itu menatap Tari tanpa berkedip. Matanya jernih, tetapi tidak memancarkan kebahagiaan. Tatapan itu justru menenggelamkan Tari dalam kesedihan, seolah memendam sesuatu yang sulit diutarakan.
Tari merasa tidak asing dengan tatapan itu. Mereka berdua saling berpandangan dalam diam. Tiba-tiba ada perasaan ingin melindungi si bocah perempuan.
Pintu kamar sebelah berderit, lalu terbuka, memunculkan sosok pemuda jangkung yang tidak lain adalah Damar.
“Hai!” Damar menyapa bertepatan dengan bocah perempuan yang berlari begitu saja.
Tari memandangi kepergian bocah itu, mengabaikan Damar yang diam-diam masih mengamatinya.
“Ada apa?” tanya Damar.
Tari terhenyak, lalu segera bangkit dari posisi berjongkoknya. Dia berhadapan dengan Damar dan menatapnya heran. Satu tanya menambah daftar rasa penasaran dalam benak Tari. Tentang alasan bocah itu lari, seolah Damar adalah ancaman baginya.
“Adik kamu baik-baik aja?” Tari balik bertanya.
Tidak bermaksud merecoki urusan pribadi orang lain. Namun, jika keselamatan bocah perempuan itu memang terancam, Tari harus segera mengambil tindakan.
“Iya. Adikku baik-baik aja,” balas Damar.
Tari memicing karena pria di hadapannya ini tampak meragukan jawaban sendiri. Tari rasa dia benar-benar harus waspada.