Matahari bersinar dengan garangnya saat Tari kembali ke kantor setelah meninjau rumah calon debitur di daerah Kelapa Dua. Sayangnya, sinar itu tidak cukup untuk menembus awan gelap yang menggantung di hati Tari.
Suasana di kantor belakangan ini makin terasa menyesakkan. Bukan karena rekan-rekan kerja yang menyebalkan atau atasan yang menuntut ini dan itu, melainkan karena target yang terus melonjak. Rasanya Tari seperti diminta menempa emas dari bongkahan batu.
Begitu sampai di mejanya, Tari menatap layar komputer yang kembali dinyalakan. Tugas-tugas yang harus diselesaikan terpampang jelas, mengejek Tari karena daftar itu makin menumpuk setiap harinya. Target pengikatan kredit bulan ini lagi-lagi dinaikkan. Tari makin kewalahan. Pekerjaan yang tadinya dia anggap sebagai salah satu alasan untuk bertahan hidup, kini berubah menjadi jeruji besi yang memenjarakannya dengan rantai target dan tenggat waktu.
Sejak terjadi restrukturisasi besar-besaran di kantor itu, target yang dicanangkan makin tinggi dan tidak masuk akal. Semua pegawai merasakan tekanan yang mendesak. Bagi Tari, tekanan ini makin tidak tertahankan dan rutinitas di kantor penuh kecemasan.
“Tar, sudah ada dapat rencana jadwal penandatanganan untuk nasabah kita yang di Lengkong?” Ardan, staf legal yang levelnya lebih tinggi dari Tari itu menghampiri kubikelnya.
Tari menggeleng lesu. “Belum ada, Mas. Masih proses validasi pajak.”
“PPJB dulu aja deh, biar cepat,” gagas Ardan.
“Nggak bisa, Mas. Sekarang bisanya AJB langsung.” Tari menyampaikan informasi yang dia dapatkan dari notaris. Jika dulu untuk proses kredit pemilikan rumah masih bisa menggunakan perjanjian pengikatan jual beli, sekarang notaris menolaknya. Tari tidak tahu alasan pastinya. Notaris hanya mengatakan bahwa ada peraturan baru yang mempengaruhi hal itu.
“Ya kamu push deh. Jangan diam aja. Inget target.” Ardan mengatakan itu sambil berlalu menjauhi meja Tari.
Mendengar ucapan Ardan, Tari hanya bisa menahan emosinya agar tidak meluap. Bagaimana bisa Ardan menuduhnya diam saja, padahal Tari sudah pontang-panting melakukan segala cara agar bisa memenuhi target gila yang harus dicapai. Tari memang tidak memiliki alasan kuat untuk bertahan hidup seperti orang-orang lain, tetapi dia ingin melakukan segala sesuatunya dengan baik sampai akhir.
Tari menatap daftar pekerjaan di komputernya, mencoba menentukan mana yang harus dikerjakan lebih dulu. Siapa yang harus dihubungi agar setiap prosesnya berjalan dengan cepat seperti kemauan para petinggi kantor. Setiap langkah yang Tari pilih terasa seperti pertaruhan. Jika berhasil mencapai target, karirnya selamat. Jika gagal, dia akan menerima omelan atasan, rasa malu karena tidak memenuhi ekspektasi, dan kekecewaan pada diri sendiri.
Menjelang sore, Tari makin tenggelam dalam pekerjaan. Telepon berdering terus menerus dari broker dan klien yang menanyakan progres pengajuan kredit mereka. Sedangkan dia sendiri sudah berusaha mengejar jawaban dari pihak notaris, tetapi responsnya tetap sama, menunggu hasil validasi, ataupun prosedur yang lain. Sabar adalah kata yang harus Tari pahami meski klien dan atasannya tidak sekali pun mau mengerti.
Saat semua orang bersiap untuk pulang, Tari masih terpaku di mejanya. Dia menatap layar komputer yang penuh dengan daftar “utang” pekerjaan yang harus ditunaikan. Satu per satu rekan kerjanya meninggalkan kantor, tetapi Tari masih merasa ada banyak yang belum terselesaikan. Pikiran Tari melayang ke segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi kalau dirinya tidak berhasil mencapai target bulan ini.
“Mbak Tari,” panggil office boy yang melongok dari pintu.
“Ya?” Tari menoleh ke arah si pemanggil dengan tatapan linglung.
Kubikel-kubikel di sebelah Tari sudah kosong. Entah sejak kapan rekan-rekan kerjanya meninggalkan ruangan itu. Tumpukan pekerjaan yang menggunung membuat Tari tidak ingat waktu.
“Mbak Tari mau lembur, ya?” tanya office boy sambil mendekat ragu-ragu.
“Kenapa, Pak?” Bukannya menjawab, Tari malah balik bertanya.
Lelaki yang lebih tua dari Tari itu menggaruk tengkuk. Gestur yang umum sekali ditunjukkan oleh seseorang saat sedang bingung atau ingin berbasa-basi.
“Anu … anak saya yang bungsu hari ini ulang tahun. Kalau boleh, Mbak Tari pulangnya jangan malam-malam, ya. Saya mau beli kue. Kalau kemalaman, takut anaknya keburu tidur. Saya nggak tega bangunin,” ungkap office boy panjang lebar.
Kedua mata Tari sontak dibayangi buliran bening. Hatinya terenyuh mendengar pengakuan itu. Tari tidak pernah dirayakan. Dia tidak boleh mengacaukan rencana indah sebuah perayaan.
“Saya udah selesai, Pak. Ini mau pulang,” timpal Tari.
Lelaki di samping kubikel Tari itu tersenyum lega. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali dengan tulus meski Tari pikir itu tidak perlu.
Tari lekas merapikan meja kerjanya dan mematikan komputer. Sementara itu, office boy tadi mengumpulkan sampah-sampah kertas sebelum mengakhiri tugasnya hari ini dan merayakan hari bahagia anak tercintanya.
“Pak, saya duluan, ya.” Tari pamit lebih dulu dan direspons dengan anggukan serta senyuman.
Tari bergegas meninggalkan ruangan. Di lantai bawah, satpam sedang menutup teralis yang melindungi ruangan teller. Tari menyapa sambil lalu. Dia keluar kantor dan terkejut mendapati seorang lelaki yang sangat dikenalinya duduk di teras rukan.