Seharian ini masih sama melelahkannya dengan kemarin. Setelah kehilangan calon debitur karena dianggap tidak responsif, Tari harus bekerja lebih giat lagi. Dia menjadi posesif pada ponselnya, terutama saat jam kerja. Dia tidak pernah lagi meninggalkan alat komunikasi itu. Entah sekadar ke pantri mengisi tumbler, bahkan ke toilet sekalipun. Mode getarnya selalu diaktifkan.
Tari tidak mau kehilangan kesempatan lagi. Pekerjaan itu adalah alasan Tari masih dianggap ada oleh keluarganya. Kalau sampai kehilangan pekerjaan, mungkin ibu dan kedua saudaranya benar-benar akan melupakan Tari.
Bertahan sehari lagi. Kalimat itu yang selalu Tari ucapkan setiap kali terbangun dari tidurnya.
Demi ibu. Demi kakak. Demi adiknya.
Tari bertahan untuk mereka meski tidak pernah merasakan sebaliknya. Dia selama ini hidup hanya dengan dirinya sendiri.
Asa ke mana, ya? Tari teringat teman kosnya itu.
Raut wajah Asa yang Tari lihat saat di warung makan kemarin tampak berbeda. Asa seperti memendam sesuatu.
Apa Asa ada masalah? Tari menggigit bibir bawahnya.
Meski khawatir, Tari tidak ingin ikut campur urusan pribadi Asa. Dia pikir temannya itu akan bercerita kalau memang butuh pendengar. Seperti yang biasa Tari lakukan.
Malam makin sepi meski belum terlalu larut. Tari mendengar suara langkah kaki melewati kamarnya disusul pintu yang berderit, lalu tertutup. Itu pasti Damar. Mungkin baru pulang kerja atau selesai mandi.
Tari memandangi pergelangan tangan kirinya. Entah sejak kapan tepatnya sebuah garis melintang tergores di sana. Tari hanya ingat ada masa di mana dia senang sekali menggaruk di tempat yang sama dengan sesuatu, seringnya menggunakan bagian ujung kunci motor atau benda apa saja. Tidak terasa sakit sama sekali saat melakukan aksi itu meski terkadang sampai membuat bercak merah mengotori ujung kunci dan benda lain yang digunakan.
Sama halnya dengan tidak ingat sejak kapan Tari senang membuat luka, dia juga lupa kapan kebiasaan itu terhenti. Sisanya hanya berupa goresan kulit yang lebih menonjol dan sulit dihilangkan. Untung saja masih bisa Tari sembunyikan dengan mengenakan baju berlengan panjang atau menimpanya menggunakan jam tangan.
Dua minggu terakhir, Tari melupakan eksistensi jam tangannya yang rusak. Dia belum sempat membawanya ke tukang reparasi, apalagi membeli yang baru. Waktu Tari tersita banyak untuk mengejar target.
“Tangan kamu kenapa?” Pertanyaan Damar kemarin malam terus terngiang.
Selain Asa, tidak ada yang pernah peduli pada goresan di tangan Tari. Dia berhasil menyembunyikan itu dengan baik selama ini.
Kenapa Damar harus memergoki goresan itu?
Ah, betapa cerobohnya Tari!
Telunjuk kanan Tari meraba goresan itu, mengikuti alurnya. Mendadak dadanya bergemuruh. Rasa penasaran membuat Tari menekan kuku telunjuknya. Dia rindu sensasi itu. Rindu saat permukaan kulitnya mulai terbuka dan cairan merah tampak seperti tetesan embun di atas kelopak mawar keluar dari sana.
Mata Tari masih memandangi goresan itu, seolah menjadi magnet yang menggerakkan kuku telunjuk Tari untuk menggaruknya. Mula-mula hanya perlahan, hingga permukaan kulitnya mulai tertarik kuku dan goresan baru tercipta.
Bibir Tari tersenyum tipis saat warna merah mulai muncul. Indah, seperti warna gincu yang dulu sering dipakai Mama saat mengajak kakak dan adik Tari pergi di malam Minggu.
“Aku boleh ikut?” Suara Tari kecil terngiang di kepala.
“Kamu nggak usah ikut. Nggak ada yang jaga rumah. Kita cuma sebentar, kok. Nanti Mama beliin jajan.”
Tari kecil membiarkan mereka bertiga pergi. Dia tidak merajuk. Dirinya sudah terbiasa ditemani sepi. Menjaga rumah sambil mengharap Mama kembali dan memberinya camilan dari luar. Namun, janji itu hanya iming-iming yang tidak pernah ditepati.
Telunjuk Tari masih menggaruk, menciptakan ceruk yang makin dalam. Bukan hanya kulit tipis yang terbawa di kuku telunjuknya, melainkan cairan merah juga. Namun, dia tidak perlu khawatir. Luka kecil itu tidak mungkin membuatnya mati detik ini juga.
Tari terlonjak saat terdengar suara ketukan pintu. Dia buru-buru membukanya, mengira itu adalah Asa. Padahal biasanya Asa masuk ke sini sesuka hati tanpa permisi.
Kedua mata Tari memelotot saat mendapati sosok yang berdiri di depan pintu kamarnya ternyata bukan Asa.
“Hai, Tari,” sapa Damar dengan senyum menghias wajah teduhnya.
“H–hai,” balas Tari sedikit canggung.