Awan-awan tipis berarak di langit, menutupi sinar matahari yang mulai condong ke barat. Semilir angin mengelus wajah Tari dan mempermainkan rambut pendeknya. Di taman ini, dia sesekali datang untuk mencari ketenangan. Selain kamar kosnya, taman kecil di ujung jalan ini adalah tempat untuk melupakan sejenak beban hidup yang kian hari makin berat.
Suasana taman cukup sepi, hanya ada beberapa anak yang bermain di ayunan dan perosotan. Tari melangkah lunglai. Pikirannya dipenuhi banyak hal, hingga dia merasa sulit sekali untuk berpikir jernih.
Langkah Tari terhenti. Dia melihat sosok yang duduk di bangku kayu dekat pohon beringin besar dengan ranting yang merunduk, hampir seperti melindungi gadis kecil itu dari dunia luar. Rambut hitam pendek dengan poni rata dan pakaian sederhana berwarna pastel, membuatnya mudah dikenali. Gadis itu duduk sendirian dengan tenang, seolah dunia di sekitarnya tidak pernah ada. Tari tertegun sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri.
“Halo,” sapa Tari dengan suara lembut dan sedikit bergetar, entah karena angin sore yang makin dingin atau karena perasaan aneh yang kembali muncul di hatinya. Ini adalah kesempatan bagus untuk berkenalan dengan tetangga kosnya yang selalu membuat penasaran.
Gadis kecil itu mendongak. Sepasang mata bulat si gadis menatap Tari dan menghadirkan getaran yang sulit diartikan, sebuah kesedihan yang entah bagaimana menembus jantungnya. Tari ingin sekali melindunginya.
Senyum tipis mengembang di bibir gadis kecil itu, seolah dia sudah mengharapkan kehadiran Tari.
“Kamu sendirian?” tanya Tari, ikut duduk di sebelah gadis itu, dan memperhatikan ekspresi wajahnya yang sangat familier.
Anggukan kecil menjawab pertanyaan Tari. Bibir mungil si gadis terkatup rapat. Namun, Tari meyakini satu hal, bahwa gadis itu bukannya tidak bisa berbicara, dia hanya enggan.
“Nama kamu siapa?” Tari kembali bertanya dengan hati-hati, tidak ingin membuatnya ketakutan.
Bibir mungil si gadis kecil menjadi pusat perhatian Tari.
“Salu,” balas gadis itu dengan bibir yang terbuka sedikit dan suaranya lirih sekali.
Tari tersenyum tipis, bahagia mengetahui nama tetangga kecilnya. Sejak pertemuan pertama mereka, Tari tidak bisa berhenti memikirkannya. Ini awal yang baik untuk memulai sebuah pertemanan. Oh, kenapa Tari merasa lega bisa mengenal Salu?
“Kamu ngapain di sini sendirian?” Tari celingukan sesaat sebelum akhirnya kembali menaruh atensi pada Salu, “nungguin abang kamu, ya?” imbuhnya menebak.
Salu menggeleng. Dia sepertinya hemat berbicara. Persis seperti Tari saat masih seusia Salu, bahkan sampai sekarang. Tari enggan bicara banyak jika itu tidak perlu.
Tari menelisik wajah Salu dengan saksama. Wajah Salu tampak pucat. Mata yang tajam, tetapi sendu, serta pakaian lusuhnya meninggalkan perasaan janggal di benak Tari. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Seolah-olah gadis kecil ini menyimpan rahasia besar yang tersembunyi di balik bungkamnya.
Hening mengisi ruang di antara Tari dan Salu selama beberapa waktu. Taman sore ini cukup sepi, hanya ada suara gesekan daun dan kicauan burung yang bersiap kembali ke sarangnya.
“Kamu mau pulang?” tanya Tari lagi, mencoba menggali lebih dalam.
Sejak pertama kali bertemu Salu, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikiran Tari. Rasa penasaran tidak dapat dihilangkan begitu saja. Gadis kecil itu begitu misterius. Salu muncul tiba-tiba seperti embun pagi dan menghilang secepat angin senja.
Salu memandang langit sejenak sebelum menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Pulang ke mana, Kak?”
Tari makin penasaran. Bukankah Salu tinggal bersama Damar?
“Kak Tari pengen pulang juga?” Salu melanjutkan pertanyaannya dan membuat Tari tertohok.
Cara Salu berbicara membuat Tari merasa gadis ini telah mengalami lebih banyak hal daripada yang seharusnya. Tari tidak bisa membayangkan pundak sekecil itu harus menanggung beban yang begitu berat. Entah apa.
“Kak Tari kalau pulang ke mana?” Suara lirih Salu kembali terdengar.