Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #14

Bab 14

“Cantik!” puji Tari pada bayangan diri yang terpantul dalam cermin. Dia baru saja selesai memoles wajah dengan riasan yang sedikit berbeda dari biasanya.

Jika hari-hari sebelumnya Tari hanya mengenakan tabir surya dan beda tipis, serta lipstik berwarna natural, kali ini dia mencoba tampil lebih berani. Bukan hanya bedak tipis, dia juga menyapukan perona wajah pada tulang pipi. Bulu matanya dibuat lebih lentik dengan maskara dan kedua alis pun tampak simetris. Tidak ketinggalan, lipstik yang digunakan terlihat merah menyala.

Setelah puas dengan penampilan wajah, Tari menyisir rambutnya. “Kayaknya sesekali perlu dipanjangin, deh.”

Rambut Tari yang panjangnya tidak pernah melebihi bahu itu terlihat membosankan. Dia harus mengubah gayanya menjadi lebih kekinian.

Tari lalu menyemprotkan minyak wangi di beberapa titik tubuhnya yang dianggap bisa menyimpan aroma lebih lama. Sesuatu yang juga jarang dia lakukan.

Sekali lagi Tari mematut bayangan diri. Dia lalu tersenyum puas melihat hasil riasan pagi ini. Rasa percaya dirinya membumbung tinggi. Hari ini orang-orang di kantor sudah pasti akan pangling dan memujinya.

Tari segera mencangklong tasnya dan bergegas meninggalkan kamar. Dia tidak sabar ingin menyapa rekan-rekan kerjanya di kantor. Dia juga sudah siap siap sekali berinteraksi dengan para klien.

Begitu membuka pintu, Tari dikejutkan oleh seorang pria yang juga keluar dari kamar sebelah, berbarengan dengannya.

“Selamat pagi, Tari,” sapa pria yang lebih tinggi itu.

“Oh … selamat pagi,” balas Tari sedikit canggung.

Tari mengalihkan perhatian dari pria itu dan mengunci pintu kamarnya. Si pria melakukan hal yang sama.

“Kamu mau berangkat kerja?” Pria itu bersuara lagi.

“Iya,” balas Tari singkat.

“Mau bareng aku aja?”

“Nggak. Terima kasih,” tolak Tari diakhiri senyum tipis. “Duluan, ya,” pamitnya setelah berhasil mengunci pintu.

Tari berlalu, meninggalkan pria yang diyakininya sebagai tetangga baru. Dia sedang tidak ada waktu untuk berkenalan, ingin segera sampai di kantor.

Suasana pagi ini tampak cerah seperti hati Tari. Sepanjang jalan dia tidak henti menebarkan senyuman meski tersembunyi di balik masker tiga lapis berwarna putih. Dia makin merasa bahagia ketika motornya sampai di parkiran kantor.

Sepasang kaki Tari yang berbalut sepatu berhak tinggi itu terayun ringan meninggalkan parkiran. Dia tidak pernah absen menyapa orang-orang yang dilaluinya dengan senyuman lebar.

“Selamat pagi!” sapa Tari pada satpam yang baru saja membukakan pintu untuknya.

“Pagi, Mbak Tari,” timpal Pak Satpam, “tumben ceria banget pagi ini.”

Tari tidak menanggapi dengan ucapan, melainkan senyum yang makin dilebarkan. Dia lalu melanjutkan langkahnya, menaiki belasan anak tangga menuju lantai dua. Dia sempat mematung sesaat di depan pintu hanya untuk menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.

“Selamat pagi!” Tari menyapa penuh semangat setelah membuka pintu.

Beberapa karyawan yang sudah menempati kubikel masing-masing sontak menatap Tari. Mereka membalas sapaannya dengan canggung.

Tari mengabaikan tatapan aneh rekan-rekannya itu. Dia duduk di kursi sendiri, menaruh tas di sebelah CPU, dan menekan tombol power. Seketika monitor sebesar 14 inch di hadapan Tari langsung menyala.

Tangan kanan Tari dengan lihai mengoperasikan tetikus, membuka folder berisi data-data nasabah. Dia lalu mengambil sebuah map merah dari laci paling bawah di lemari di kolong mejanya.

Tari bangkit dari kursinya. Dia mendekap erat map merah itu seolah sedang menimang anak kesayangan. Tujuannya adalah ruangan surveyor.

Begitu sampai di ruangan yang dituju, Tari mengetuk pintu. Dia bisa saja menyelonong masuk, tetapi itu sangat tidak sopan. Jadi, Tari menunggu seseorang dari dalam ruangan mempersilakannya masuk.

“Selamat pagi, Mas Alfi.” Tari menyapa sambil melongokkan kepala.

Lihat selengkapnya