Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #15

Bab 15

Tari terbengong. Pikirannya terasa kosong. Sepertinya dia harus melakukan sesuatu pagi ini, tetapi entah apa. 

Kemarin Tari ke ruangan Alfi untuk memastikan jadwal peninjauan lokasi ke rumah calon nasabah mereka. Namun, ternyata mereka sudah pernah mendatangi Pak Dimas. 

Tari ingat obrolan mereka di sana saat melakukan peninjauan. Pak Dimas menyinggung persoalan jodoh, lalu Alfi membelanya. Dua minggu kemudian, penandatanganan perjanjian kredit dilakukan dan pinjamannya sudah cair. Kenapa kemarin Tari melupakan hal-hal itu? 

Lantas apa yang harus Tari ingat hari ini? 

Tari membuka ponselnya, memeriksa setiap pesan masuk, mencari petunjuk. Nihil. Tidak ada pesan yang mengindikasikan dirinya untuk melakukan sesuatu. 

Nomor Ibu berada di riwayat panggilan masuk. Apa yang Ibu katakan? Mungkinkah Ibu meminta sesuatu pada Tari? Uang? Berapa nominalnya? 

Mustahil Ibu menghubungi Tari tanpa maksud tertentu. Keperluan Ibu dengan Tari biasanya tidak jauh dari persoalan uang. Haruskah dia menelepon Ibu untuk memastikan?

Tari sepertinya harus mencatat segala hal mulai sekarang. Dia mungkin terkena kepikunan dini hingga mudah sekali melupakan hal-hal yang baru terjadi. 

Ibu, tadi malam telepon Tari? Ada apa, ya? 

Tari mengetik sebaris kalimat itu, tetapi segera dihapus lagi. Ibu mungkin saja akan tersinggung kalau tahu Tari melupakan ucapannya. Tari harus mencari cara lain agar bisa mengingat perbincangan dengan Ibu tadi malam. 

Pucuk dicinta, telepon dari Ibu pun masuk. Hanya satu detik, Tari langsung menerimanya. 

“Tari, uangnya udah dikirim belum?” tanya Ibu langsung, tentu saja tanpa basa-basi dulu, seperti biasa. 

Dugaan Tari tidak meleset sama sekali. Ibu meminta dikirimi uang.  Namun, Tari sungguh lupa nominalnya. Dia bahkan tidak ingat sedikit pun perbincangan dengan Ibu. 

“Tar, kamu dengar Ibu nggak, sih?” Pertanyaan Ibu menyentak Tari. 

“Iya, Bu. Satu juta, ya?” Tari asal saja menyebut nominal. 

“Adikmu cuma butuh lima ratus,  tapi kalau kamu mau kirim satu juta, ya bagus,” timpal Ibu, senang kejatuhan durian rontok. 

Sudah kepalang tanggung menyebutkan angka, Tari tidak mungkin menariknya. Untung saja masih ada sisa saldo yang cukup untuk dikirimkan pada Ibu.

“Baik, Bu. Tari kirim sekarang, ya,” timpal Tari. Dia memang harus melakukannya dengan segera, sebelum terlupa lagi.

“Ya, sudah. Ibu tunggu.”

Panggilan telepon itu langsung diakhiri. Tanpa basa-basi apa pun lagi. Tari sudah terbiasa meski terkadang tetap mengharap akan ditanyai kabar juga.

Jemari Tari cekatan berpindah aplikasi, dari penggunaan telepon, beralih ke pembayaran. Dia segera mengirimkan yang Ibu minta, lalu mengirimkan tangkapan layar bukti transfernya melalui chat. Hitungan detik chat-nya terbaca, centang dua berwarna hijau. Namun, tidak ada balasan apa pun dari Ibu.

“Seenggaknya Ibu udah baca. Kalau uangnya nggak masuk, Ibu pasti kasih kabar lagi.” Tari mencoba berpikir positif demi menghibur diri.

Setelah selesai melakukan transaksi itu, Tari kembali terbengong. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang harus dilakukan hari ini. Apa ada sesuatu yang terlewat dari ingatannya lagi?

Tari memeriksa hari dan tanggal yang tertampil di layar ponselnya. Sabtu. Hari ini kantornya libur. Dia tidak perlu pergi bekerja. Seharian ini dia bisa tidur-tiduran saja. Mungkin dengan mengistirahatkan otaknya selama sehari penuh tanpa memikirkan apa pun, dia akan bisa berpikir jernih lagi. Ingatannya akan kembali seperti sedia kala.

Satu nama tiba-tiba terlintas dalam benak Tari. Asa. Sudah berapa lama Asa tidak menyambangi kamar Tari? Sejak kapan mereka tidak berinteraksi?

Kalau tidak salah mengingat, terakhir kali Tari melihat Asa setelah makan malam bersama Damar di teras lantai dua. Waktu Asa tampak menghindarinya. Entah ada masalah apa. Tari seharusnya menanyakan keadaan Asa. Seperti yang selalu dilakukan perempuan itu padanya setiap terjadi sesuatu.

Tari mendesah. Dia merasa buruk. Bahkan menjadi sahabat yang baik untuk Asa pun dia tidak mampu. Tari terlalu egois. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia tidak pedulikan apa pun. Seolah pusat semesta adalah dirinya.

Lihat selengkapnya