Akhir pekan berlalu begitu saja. Niat untuk merehatkan otak dari segala beban, nyatanya tidak bisa Tari lakukan. Dua hari kemarin Tari terus memikirkan Asa. Pesannya tidak berbalas. Nomor perempuan itu pun masih di luar jangkauan.
Ada apa dengan Asa? Ke mana dia pergi? Apa yang sedang dilakukan olehnya? Kenapa nomornya tidak bisa dihubungi?
Semua pertanyaan itu tumpang tindih dk kepala Tari. Beberapa kali dia bolak-balik naik turun anak tangga. Tidak jarang pula terdorong untuk mengetuk satu per satu pintu kamar di lantai tiga. Namun, dia cukup waras untuk tidak menimbulkan kegaduhan di sana.
Seseorang mengetuk meja kerja Tari, membuatnya terperanjat, dan menoleh sambil gelagapan.
“HP kamu dari tadi getar tuh,” ucap Rina, ekor matanya melirik ponsel Tari di atas meja, dekat kotak pensil.
“Oh, iya, Mbak,” timpal Tari, merasa tidak enak hati.
Semua kekhawatiran tentang Asa menyedot penuh perhatian Tari hingga melupakan hal-hal di sekitarnya. Tari segera menerima panggilan masuk itu, sedangkan Rina kembali ke meja kerja sendiri.
“Halo, Mas Alfi.” Tari menyapa dengan gugup, entah berapa lama dia mengabaikan telepon masuk itu.
“Tar, kamu di mana? Ini aku udah di lokasi.” Suara Alfi terdengar sedikit berbisik.
Tari berpikir keras. Sepertinya dia melupakan hal penting lagi. Untung saja, Tari melihat lingkaran pada kalender mejanya, disertai tanda panah yang mengarah pada sebuah catatan. Di sana tertulis jam dan alamat.
“Kita kan janjian ketemu di sini, Tar. Kamu ada kendala?” tanya Alfi, masih dengan suara berbisiknya.
Tari tidak mungkin mengaku lupa. Bisa-bisa Alfi kecewa atau bahkan marah padanya. Namun, dia tidak memiliki alasan apa pun untuk membual. Berdasarkan catatan di kalender meja, waktu janjian sudah lewat dan butuh sekitar tiga puluh menit untuk sampai di lokasi. Mustahil juga meminta Alfi menunggu, apalagi menjadwalkan ulang.
“Mas Alfi, maaf aku mampir ke kantor karena ada yang harus diberesin. Ini aku otw ke sana, ya.” Tari terpaksa berbohong.
“Kenapa nggak bilang?” Ada nada kecewa pada cara Alfi mengucapkan kalimatnya. “Kalau tau gini kan kita bisa undur jamnya, Tar.”
Tari sungguh merasa bersalah. Dia teledor. Banyak hal-hal penting yang terlupa. Akibatnya, orang lain yang menderita.
“Maaf, Mas.” Hanya itu yang bisa Tari ucapkan.
“Ya, sudah. Mau gimana? Aku mulai duluan. Kalau kamu sempat, datang aja. Kalau nggak, aku bisa handle sendiri, kok.”
Tari tahu Alfi kecewa. Meski Alfi memang bisa menangani peninjauan lokasi sendirian, Tari tidak mungkin membiarkannya. Dia juga ikut bertanggung jawab karena itu termasuk dari bagian tugasnya.
Setelah sambungan telepon dengan Alfi terputus, Tari berlekas mengemas beberapa berkas yang diperlukan ke dalam paper bag. Dia buru-buru keluar dari ruangan kerja, berlari kecil menuruni anak tangga, lalu menuju parkiran motor.
Tari berkejaran dengan waktu. Untung saja tidak ada orang yang mengantre di loket keluar motor. Dia bisa melaju tanpa hambatan.
Lokasi yang dituju cukup familier. Tari sudah beberapa kali ke daerah di mana objek jaminan calon debiturnya berada. Sebuah kawasan perumahan bernuansa Eropa. Katanya, ada juga artis yang tinggal di sana.
Jalan utama masih cukup ramai. Laju beberapa kendaraan, khususnya roda empat, sedikit tersendat. Tari harus ekstra hati-hati menyalip. Lengah sedikit, bisa-bisa menyerempet kendaraan lain. Kalau sampai itu terjadi, dia harus mengganti rugi. Urusannya bisa panjang.
Setelah berbelok ke kiri di perempatan, Tari akhirnya terbebas dari kemacetan itu. Dia melajukan motornya dengan kecepatan di atas normal. Tari ingin segera sampai. Tidak enak rasanya mangkir dari tanggung jawab, apalagi disebabkan kelalaian sendiri. Lebih baik terlambat daripada tidak datang sama sekali.
Dari arah berlawanan, terlihat sebuah truk berwarna kuning. Jalannya tampak mengebut juga. Tiba-tiba saja terdengar suara bisikan di kepala Tari.
“Gimana rasanya tabrakan sama truk?”
Rasa penasaran Tari terpantik.
“Kalau aku kecelakaan, ada yang sedih nggak, ya? Kalau aku masuk rumah sakit, ada yang jenguk aku nggak? Kalau aku sampai meninggal, apa ada yang kehilangan?”