Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #17

Bab 17

Tari tidak pernah menyangka Damar akan datang ke sini setelah berhasil dikabari oleh pihak rumah sakit. Bahkan pria itu berbaik hati menyelesaikan administrasi. Katanya, Tari bisa membayar kapan pun nanti.

Selagi Damar menyelesaikan urusan pembayaran, Tari duduk di kursi plat besi yang tersedia di ruang tunggu, tidak jauh dari loket kasir. Di sebelah kanannya, seorang gadis muda ditemani pria dewasa, mungkin ayahnya, sedang menunggu antrean obat. Wajah gadis itu pucat. Napasnya tampak pendek-pendek dan sesak. Orang-orang hilir mudik dengan urusan masing-masing. Sesekali terdengar suara petugas memanggil nomor antrean para pengunjung sesuai loket tujuan.

Atensi Tari yang sedang memperhatikan lalu lalang orang-orang, tiba-tiba dikejutkan dengan getaran ponsel dari dalam tasnya. Dia dengan hati-hati merogoh tas dan mengambil benda itu. Panggilan masuk dari nomor kantornya. Tumben sekali. Biasanya rekan kerja Tari akan menghubungi menggunakan nomor pribadi. 

“Halo,” sapa Tari pelan. 

“Kamu ke mana aja, Tari? Ditelepon nggak diangkat-angkat. Chat juga nggak dibalas. Ini Mas Alfi ngamuk-ngamuk nyariin kamu.” Suara itu jelas sekali milik Rina. 

Tari menarik napas dalam-dalam. Seharusnya dia langsung mengabari Alfi begitu siuman. Namun, beberapa hal membuatnya menunda untuk melakukan itu. Tari sadar diri ini semua kesalahannya dan akan menerima kemarahan Alfi. Namun, dia tentu harus memberi tahu apa yang menimpa dirinya.

“Maaf, Mbak Rina. Aku di rumah sakit. Tadi kecelakaan dan sempat pingsan,” ungkap Tari jujur. 

“Ya ampun, Tari! Terus sekarang kamu gimana? Di rumah sakit mana?” Rina terdengar heboh.

“Aku udah nggak apa-apa, kok, Mbak. Ini udah mau pulang.” “Syukur lah kalau gitu,” ucap Rina lega. “Tapi, beneran udah nggak apa-apa?” 

Seperti biasa, Rina tidak mudah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Tari. Dia akan terus bertanya untuk memastikan keadaan sebenarnya. 

“Iya, Mbak. Beneran.” Tari hanya menanggapi dengan singkat. 

“Oke deh. Ini aku kasih tau Mas Alfi,” tandas Rina. 

“Biar aku aja, Mbak,” elak Tari. Dia tidak enak hati. Lagi pula, dia juga ingin meminta maaf pada Alfi.

Panggilan itu berakhir. Tari segera memeriksa ponselnya. Banyak panggilan masuk yang tidak terjawab. Sebagian besar dari Alfi. Deretan chat pun memenuhi notifikasi pesan masuk, dari Rina, beberapa klien, dan staf notaris. Namun, tidak ada notif dari keluarganya. 

Tari memotret bagian resepsionis di mana terpampang nama rumah sakit. Dia lalu mengirimkannya kepada Alfi melalui chat

Mas Alfi, aku minta maaf banget karena tadi nggak sampai ke lokasi. Aku kecelakaan, Mas. Ini masih di rumah sakit. 

Dalam hitungan detik, pesan yang Tari kirimkan itu terbaca. Lalu sebuah panggilan video masuk melalui aplikasi yang sama. Tari buru-buru menerimanya.

“Kamu kecelakaan di mana, Tari?” tanya Alfi begitu wajahnya terpampang di layar ponsel Tari. 

“Di dekat perempatan, Mas, setelah mini market itu,” balas Tari,  sedikit meringis menahan nyeri. 

“Terus sekarang gimana?”

“Ini udah mau pulang, Mas. Lukanya nggak parah. Tadi sempat pingsan karena shock aja.” Tari berusaha menjelaskan bahwa dirinya baik-baik saja agar Alfi tidak khawatir. 

Obrolan itu terhenti saat Alfi harus menerima panggilan masuk dari yang lain.

“Udah selesai?” Damar yang berdiri di hadapan Tari itu membuatnya terkejut. 

Rupanya urusan administrasi sudah beres. Damar juga menenteng kantong plastik kecil berisi obat-obatan untuk Tari. 

“Kita pulang sekarang?” tanya Damar lagi. 

“Boleh tunggu sebentar? Aku mau telepon Asa. Takutnya nanti dia nyariin aku.”

Sejak pergi tadi, Asa belum kembali. Tari harus menghubunginya dan memberi tahu kalau dia sudah boleh pulang. Namun, panggilan Tari kembali dijawab oleh suara otomatis. Berada di luar jangkauan katanya. 

Lihat selengkapnya