Tari tertidur setelah meminum obat dari dokter. Namun, dia terusik ketika badannya mulai terasa pegal. Tari mencoba mengubah posisi berbaringnya. Sia-sia saja, dia tetap tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Keinginan buang air kecil makin memaksa Tari untuk segera bangun. Dengan langkah sangat pelan dia keluar dan menuju kamar mandi.
Lampu di teras kamar penjaga kos menyala terang, berarti ini sudah malam. Untung saja Tari tidak pernah mendengar cerita horor di kos ini. Jadi, dia tidak perlu takut. Lagi pula, kenyataan hidupnya sudah lebih horor dibandingkan hantu mana pun.
Kurang dari lima menit, Tari sudah keluar lagi dari kamar mandi. Dia kembali ke kamar dan terkejut mendapati Salu sedang berdiri di depan pintunya. Tari langsung menghampiri gadis kecil itu.
“Salu, belum tidur?” tanya Tari.
Sepasang mata bulat Salu menatap Tari, seolah iba. Tari pikir Damar sudah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya sehingga Salu merasa kasihan seperti itu.
Tari sedikit menunduk dan tersenyum tipis untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Berharap Salu berhenti mengasihaninya.
“Kenapa belum tidur? Ini udah malam, loh.”
“Mau tidur sama Kakak,” timpal Salu lirih.
Tari sempat ragu, merasa perlu meminta izin lebih dulu pada Damar. Bagaimanapun Damar adalah kakak Salu. Dia harus tahu apa yang terjadi pada adiknya.
“Kita izin kakak kamu dulu, ya.” Tari berniat mengetuk pintu kamar Damar.
Akan tetapi, Salu lebih dulu menyelenong masuk ke kamar Tari tanpa permisi. Mau tidak mau, Tari segera menyusul Salu. Gadis kecil itu sudah berbaring memunggungi arah pintu.
Tari mengunci pintu kamarnya. Dia mengambil HP untuk mengirimkan pesan pada Damar. Khawatir pria itu akan kehilangan adiknya tengah malam nanti dan membuat kegaduhan.
Adik kamu nginep di kamarku. Tadi aku mau bilang langsung, tapi takutnya ganggu tidur kamu.
Setelah mengirim pesan kepada Damar, Tari berbaring di belakang Salu. Gadis kecil itu tiba-tiba berbalik. Matanya berkaca-kaca menatap Tari.
“Kak Tari jangan sakit-sakit lagi. Jangan sedih. Kak Tari harus bahagia,” ucap Salu. Raut wajahnya memendam kesedihan mendalam.
Salu begitu tulus hingga kesedihannya menular, merasuk ke dalam sanubari Tari. Dia segera memeluk gadis kecil itu, mengusap-usap kepalanya penuh kasih sayang. Tari merasa mendapatkan energi baru dari pelukan Salu. Pegal-pegal yang tadi sempat dirasakan, seketika sirna.
Mereka tidur berpelukan. Begitu lelap sampai akhirnya pagi menjelang. Tari membuka mata dan tidak ada lagi Salu di dekapannya. Dia celingukan mencari gadis kecil itu.
“Udah bangun? Nyenyak banget tidurnya,” sapa Asa yang bersandar pada pintu kamar Tari sambil menyedekapkan kedua tangan.
“Salu udah pulang?” Tari justru menanyakan keberadaan gadis kecil itu.
Asa mengernyit terheran. “Salu?”
“Anak kecil yang tidur di sini sama aku,” ungkap Tari, “adiknya Damar.”
Asa menggeleng, kedua bahunya terangkat sekilas. “Aku nggak lihat siapa-siapa. Dari tadi kamu sendirian.”
Tari mendesah. Sepertinya Salu keluar sebelum Asa datang. Dia mungkin malu pada orang baru. Atau bisa jadi Damar menjemputnya pagi-pagi sekali. Namun, mengapa Salu tidak membangungkan Tari sebelum pergi?
Asa mendekati Tari dan duduk di sebelahnya. Mereka saling bertatapan. Asa memeriksa beberapa luka dan lebam di tangan serta kaki Tari.
“Masih sakit?” Asa memperhatikan luka di siku Tari yang sepertinya paling parah.
“Nggak terlalu, kok. Cuma tadi malam berasa pegal. Jadinya agak susah tidur.” Tari menjawab jujur. Dia baru bisa nyenyak setelah Salu ikut menemaninya.
Tari memeriksa jam di layar ponsel. Seharusnya dia bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Namun, kondisinya tidak memungkinkan. Motor Tari juga masuk bengkel. Damar yang memberitahunya kemarin. Tidak parah memang, tetapi tetap butuh perbaikan.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Tari akhirnya terpaksa absen hari ini. Dia mengirimkan pesan pada kepala divisi dan beberapa rekan, termasuk Rina dan Alfi. Selama ini Tari tidak pernah mengajukan cuti, mungkin sekarang saatnya dia menggunakan jatah dua belas hari untuk merehatkan diri.
“Oh, iya. Kemarin kamu ke mana? Nggak balik ke rumah sakit lagi, kan?” Tari teringat tentang Asa yang tiba-tiba hilang seperti ditelan bumi.
Debas panjang terembus dari hidung Asa. Dia merapikan poninya yang sedikit menutup mata. Tatapannya tertuju pada pintu kamar Tari yang tertutup rapat.
“Sempat balik, tapi udah ada cowok itu. Jadi, aku pergi lagi,” timpal Asa lirih sekali, seolah ada perasaan kecewa yang dia pendam.