Pengakuan Damar membuat Tari sontak melebarkan kedua matanya. Mustahil Salu berbohong. Gadis kecil itu tampak polos. Kecuali dia memang diajarkan untuk memberikan nama palsu saat ditanya oleh orang asing.
“Adikku nggak ada di sini. Dia di kampung sama ibuku. Namanya Lita.” Damar kembali mengungkapkan fakta yang membuat Tari lagi-lagi tercengang.
Tari terdiam, berusaha mencerna informasi yang baru saja didapatkan. Damar juga tidak terlihat membual. Namun, kalau ucapannya memang benar, bagaimana dengan Salu? Siapa gadis kecil itu? Mengapa dia selalu berkeliaran di depan kamar Damar, bahkan saat tengah malam?
Damar tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, lalu menggulir ke aplikasi kontak, dan menghubungi seseorang. Tari memperhatikannya dengan perasaan campur aduk yang didominasi kebingungan.
“Halo, Bu!” Damar menyapa begitu wajah seorang perempuan tertampil di layar ponselnya. “Lita udah berangkat kuliah?”
“Belum. Ini lagi sarapan.” Perempuan yang Damar panggil dengan sebutan ‘ibu’ itu mengalihkan layar ponselnya ke arah seorang gadis berjilbab hitam.
“Halo, Mas Damar! Tumben pagi-pagi telepon.” Suara gadis bernama Lita itu terdengar ceria.
Damar sengaja tidak menunjukkan keberadaan Tari. Namun, dia memastikan Tari bisa melihat wajah Lita dengan jelas.
“Nggak apa-apa. Lagi pengen telepon aja. Kamu sama Ibu sehat?”
Lita terlihat mengangguk antusias sambil mengunyah makanannya.
“Ya udah kalau gitu. Habiskan sarapannya,” ucap Damar.
Lita memberikan kembali ponsel pada ibunya.
“Bu, anak Ibu ada berapa?”
Ibu Damar berdecak. “Pertanyaanmu kok aneh-aneh aja, sih? Ya jelas anak ibu cuma kamu sama Lita.”
“Kali aja Ibu mau tambah anak lagi,” timpal Damar, sedikit bergurau.
“Dua aja udah cukup buat Ibu. Tinggal nunggu cucu dari kamu.”
“Nah! Buruan nikah tuh, Mas Damar!” Lita terdengar menyahut meski wajahnya tidak kelihatan di layar.
Damar tidak menghiraukan sahutan Lita. Dia kembali berbincang beberapa saat sebelum panggilannya dimatikan. Setelah itu, dia menatap Tari yang tampaknya masih berusaha memahami kenyataan.
“Kita harus cari Salu!” Tari bangkit dari duduknya, merasakan firasat buruk.
Damar menahan pergelangan tangan kiri Tari yang tertutupi hoodie lengan panjang. Tari kembali diminta duduk dan Damar menatapnya dengan lekat. Dia tampak berhati-hati sekali untuk berucap.
“Salu nggak pernah ada, Tari,” ujar Damar akhirnya.
Dari banyak kejanggalan yang Damar saksikan, dia menarik kesimpulan bahwa Salu bukanlah sosok nyata.
Tari menepis genggaman Damar dari pergelangan tangannya. Mata Tari menatap pria itu dengan nyalang.
“Salu ada. Aku ketemu dia beberapa kali. Aku ngobrol sama dia. Tadi malam dia juga nginep di kamarku!” Nada bicara Tari penuh emosi. “Kalau dia bukan adik kamu, berarti dia adik salah satu tetangga kita.”
Panik menyerang Tari. Bukan hanya kesulitan menerima fakta bahwa Salu bukan adik Damar, melainkan juga rasa khawatir tentang nasib gadis kecil itu.
Tari teringat tatapan sedih Salu ketika pertama kali mereka bertemu. Saat itu, Tari merasa iba dan menduga bahwa hal buruk mungkin saja menimpa Salu. Tari harus segera menemukan gadis itu agar semua pertanyaan dalam benaknya mendapatkan jawaban.
“Nggak ada yang nginep di kamar kami tadi malam, Tari.” Damar berucap lembut, tidak ingin membuat lawan bicaranya tersinggung.
Tari makin geram. Damar sok tahu sekali. Jelas-jelas dia berbicara dengan Salu. Gadis itu masuk ke kamarnya dan mereka tidur bersama, bahkan saling berpelukan. Damar tidak melihat mereka. Bisa-bisa dia seyakin itu.
“Salu nggak nyata.”