Diskoneksi

Lovaerina
Chapter #20

Bab 20

Tari memaksakan diri berangkat ke kantor padahal dokter menganjurkan untuk beristirahat selama tiga sampai lima hari dan memberinya surat keterangan sakit. Namun, segala hal tentang Salu dan ucapan Damar sungguh mengusiknya. Tari tidak bisa tenang berdiam di kamarnya terus menerus.

Motor Tari masih berada di bengkel. Dia sengaja memesan ojek online pagi-pagi sekali agar tidak sampai bertemu Damar. Tari ingin memutus interaksi dengannya meski mereka bertetangga. Bagi Tari, pria itu terlalu ikut campur. 

“Loh, kamu kok udah masuk, Tari? Udah sehat?” Rina dan beberapa rekan lain langsung mengerubungi Tari. 

“Alhamdulillah, udah, Mbak,” timpal Tari, memaksakan senyuman di akhir kalimatnya. 

“Maaf, ya, kami belum sempat jenguk kamu. Tadinya mau sore ini,” ucap Rina lagi. 

“Nggak apa-apa, Mbak. Aku juga udah sehat, kok.”

Kalau boleh jujur, Tari justru senang mereka tidak sempat menjenguknya. Kamar kos Tari terlalu sempit untuk menerima kedatangan mereka.

“Kok bisa kecelakaan, sih, Tar? Gimana ceritanya?”

Rasa penasaran mereka ternyata begitu besar. Tari menceritakan kronologinya. Tentu tanpa menyebutkan hasrat untuk menabrakkan diri ke badan truk. Dia tidak mungkin mengakui itu. Bisa-bisa mereka menganggapnya sudah tidak waras. 

Setelah mendengar cerita dari Tari, satu per satu dari mereka kembali ke meja kerja masing-masing. Tari pun memulai pekerjaannya. Dia menyalakan CPU dan membuka lembar kerja yang sempat terbengkalai. 

Semua berjalan normal. Alfi sempat menyapa Tari meski sebentar. Pria itu masih menunjukkan kepeduliannya dan mengaku sudah tidak marah. Hari apes tidak ada di kalender, katanya. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa menghindarinya juga. 

Tari sesekali menerima telepon masuk dari klien dan membalas belasan pesan. Hanya satu pesan masuk yang sengaja diabaikan olehnya.

Aku taruh bubur di pintu. Jangan lupa makan dan minum obat juga. Semoga lekas sembuh. 

Pengirim pesan itu tidak lain adalah Damar. Dia tidak tahu kalau Tari sudah berada di kantor. 

Saat jam istirahat, Rina mengajak Tari makan siang bersama. Kali ini Tari menerima ajakan itu. Sendirian hanya akan membuat pikirannya ke mana-mana. 

Tari, Rina, dan lima pegawai perempuan lainnya berjalan beriringan sambil mengobrol. Mereka menuju ke warung makan tidak jauh dari kantor. Masih di kawasan rukan itu, hanya berbeda blok. 

Tiba-tiba Tari menghentikan langkah saat melihat sosok yang begitu familier, sedang duduk sendirian di depan mini market. Jantung Tari berdegup kencang dan kesedihan serta merta menerjang. 

“Ada apa, Tari?” Rina yang sudah berjalan beberapa langkah di depan, berhenti, dan menoleh ke arah Tari. 

“Nggak apa-apa, Mbak. Kalian duluan aja. Aku mau ke mini market sebentar,” balas Tari beralasan. Dia berusaha keras menyamarkan kegugupannya dengan senyuman. 

Rina dan yang lain tidak mencurigai apa pun. Mereka melanjutkan langkah, meninggalkan Tari yang beranjak mendekati sosok gadis kecil di depan mini market. 

Tari menggigit bibir bawahnya bagian dalam saat menatap sepasang mata bulat itu. Hatinya terasa tercubit. Dia benci harus mengakui bahwa dugaan Damar mungkin memang benar. 

“Kak Tari kenapa sedih? Kak Tari nggak suka ketemu aku?”

Tari makin menguatkan gigitannya, hingga terasa perih. Dia menahan diri untuk tidak bereaksi. Dia melirik ke berbagai sisi. Ada beberapa CCTV terpasang dan salah satunya mengarah ke sini. 

“Ayo ikut Kak Tari,” ajak Tari tanpa mengulurkan tangannya. 

Tari menuju ke samping bangunan paling pojok yang tidak berpenghuni. Statusnya dijual, tetapi belum laku sejak tahun lalu. Di sana tidak ada kamera pengawas. Orang-orang juga jarang sekali melewati area itu. 

Langkah Tari berhenti, lalu berbalik menghadap gadis berambut pendek yang sejak tadi mengikutinya. 

“Salu kenapa bisa sampai sini?” Tari menyadari ada yang aneh. Bagaimana Salu tiba-tiba muncul di area kantornya yang lumayan jauh dari kosan? 

Lihat selengkapnya