Damar duduk di motornya, menunggu Tari. Telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk helm yang tercantol di spion. Dia berjanji akan menemani Tari konsultasi ke psikolog terdekat hari ini.
“Mas Damar sama Mbak Tari pacaran, ya?” tanya Imran yang baru selesai menyapu di halaman rumah kos. Ketiak kanannya mengapit gagang sapu lidi, sedangkan tangan kiri memegang pengki.
Damar sontak mendelik. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba dan tidak terduga.
“Nggak, Pak,” elak Damar jujur.
“Halah … nggak usah malu-malu gitu, Mas Damar. Saya bisa jaga rahasia, kok.” Imran sengaja menurunkan intonasi saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir, lalu menaikturunkan kedua alisnya.
Damar mengelus tengkuknya, mengusir canggung yang tiba-tiba menyerang. Kedekatannya dengan Tari tidak disengaja dan murni karena ingin menolongnya. Dia tidak memiliki tujuan tertentu, apalagi berkaitan dengan urusan asmara.
“Beneran, kok, Pak. Kami nggak pacaran.” Damar masih menyangkal prasangka Imran.
“Kalau nggak pacaran kok Mas Damar perhatian banget sama Mbak Tari?” debat Imran, tetap tidak percaya pada kejujuran Damar.
Kepala Damar mengangguk-angguk kecil. Dia paham kepeduliannya bisa disalahartikan. Apalagi melihat interaksinya dengan Tari akhir-akhir ini, wajar jika ada yang menganggap mereka memiliki hubungan spesial, lebih dari sekadar tetangga.
“Perhatian kan nggak harus selalu ke pacar aja, Pak. Sesama manusia kan memang seharusnya saling tenggang rasa. Apalagi ke tetangga sendiri,” timpal Damar membela diri.
Giliran Imran yang manggut-manggut. “Ya, bener juga, sih,” ujarnya sepakat dengan pernyataan Damar. “Tapi, Mas Damar sama Mbak Tari cocok juga kok kalau pacaran.”
Damar hanya tersenyum tipis menanggapi ujaran Imran. Dia sesekali menoleh ke arah lorong menuju kamar Tari, berjaga-jaga kalau perempuan itu muncul dan mendengar percakapannya dengan Imran yang melantur.
“Jangan buru-buru juga, sih, Mas Damar. Kalian kan baru kenalan, ya? Pelan-pelan aja. Kalau jodoh, nggak bakal ke mana,” imbuh Imran, masih teguh dengan pendapatnya bahwa Damar dan Tari cocok bersama.
Damar tidak sempat menimpali karena Tari datang menghampiri mereka. Penampilan perempuan itu tampak rapi dengan jaket abu-abu dan celana hitam panjang, serta sepatu pantofel tanpa hak. Rambut Tari sudah lebih panjang dari pertama kali Damar melihatnya.
“Pagi, Pak Imran.” Tari menyapa penjaga kos dengan santun. Imran membalas sapaan itu tidak kalah santun, tetapi diimbuhi dengan candaan. “Wah, mau kencan, nih?”
Tawa canggung Damar mengudara, berusaha menepis atmosfer yang mungkin saja membuat Tari menjadi tidak nyaman berada di dekatnya. Dia memukul pelan lengan Imran, masih dengan tawa yang dibuat-buat. Tidak ada yang lucu sebenarnya. Sementara itu, Tari mengerjap bingung.
“Kita berangkat sekarang?” Damar menatap Tari dengan antusias.
Sayangnya, Tari menggeleng. “Aku berangkat sama Asa aja. Nggak apa-apa, kan?”
Damar melirik Imran yang pelan-pelan menjauh dari tempat itu, seolah berusaha menghapus eksistensinya di sana. Setelah cukup jauh, Imran mengepalkan tangan kanan ke udara sambil mengucapkan kata “semangat” tanpa suara.
“Asanya mana?” Damar celingukan mencari keberadan perempuan yang dimaksud oleh Tari.
“Dia nunggu di depan,” balas Tari. “Terima kasih, ya. Udah mau kasih rekomendasi dan mau nemenin aku, tapi aku lebih nyaman pergi sama Asa.”
Damar memaklumi alasan Tari. Jauh sebelum mereka bertemu, Tari sudah berteman dengan Asa. Lagi pula, pergi bersama sesama perempuan mungkin lebih baik karena tidak akan menimbulkan dugaan yang aneh-aneh. Namun, kalau boleh jujur, Damar sedikit berat membiarkan Tari pergi berdua saja.