Tari berkali-kali mencoba menghubungi nomor Asa, tetapi diarahkan ke kotak pesan suara. Para penghuni kos masih menjadikannya pusat atensi. Mereka saling berbisik, menerka apa yang terjadi.
Damar mencekal pergelangan tangan Tari, membuatnya berhenti mondar-mandir. Wajah perempuan di hadapannya itu basah. Kedua matanya merah. Damar tahu Tari lelah.
“Aku percaya kamu.” Damar terpaksa berbohong demi menenangkan Tari.
Damar tidak pernah belajar ilmu psikologi. Dia juga bukan ahli. Pria itu hanya mengikuti naluri. Bagaimana membuat Tari tenang adalah prioritasnya saat ini.
“Asa pasti sibuk. Jadi nggak bisa terima teleponku,” ucap Tari sesenggukkan.
Damar tidak mengerti mengapa Tari menangis tersengguk-sengguk. Entah karena dia tidak berhasil menemui Asa atau mungkin sebenarnya menyadari bahwa pernyataan Damar benar dan tetap ingin menyangkal.
Beberapa pasang mata masih menatap Tari penuh tanya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang berani mendekat, apalagi berniat membantu. Damar bertindak cepat. Dia membawa Tari segera pergi dari tempat itu. Di ujung tangga bawah, mereka hampir bertabrakan dengan Imran yang tergopoh-gopoh, sepertinya mendengar keributan tadi.
“Mas Damar, ada apa?” tanya Imran penasaran. Ekor matanya melirik Tari sekilas.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya izin antar Tari ke kamarnya, boleh?” Damar perlu meminta izin, khawatir akan menimbulkan prasangka lebih jauh lagi.
Imran mengangguk ragu-ragu. Dia ingin menegakkan peraturan, tetapi keadaannya sekarang darurat. Lagi pula, dia yakin Damar tidak akan bertindak macam-macam. Kalaupun sampai kebablasan, Imran bisa langsung meminta mereka berdua keluar dari kosan ini, sesuai konsekuensi yang sempat disampaikan di awal kedatangan calon penghuni kos.
Damar menuntun Tari menuju kamarnya. Dia membiarkan pintu kamar itu tetap terbuka lebar. Bahkan, setelah memastikan Tari duduk dengan nyaman, Damar memilih bersandar di pintu, kakinya terjulur keluar. Dia benar-benar tidak ingin pikiran orang-orang menjadi liar.
Tidak ada perbincangan apa pun. Damar hanya menemani Tari melamun. Dia membiarkan perempuan itu menyelami pikirannya sendiri. Damar merasa bersalah karena bertindak terlalu gegabah. Seharusnya dia bisa lebih bersabar, menunggu Alia yang mengungkapkan kebenaran tentang Asa. Kalau sudah begini, Tari hanya terjerat pada simpul kebingungan dan berujung menolak kenyataan.
Hening membawa menit berlalu. Imran yang tadinya sempat ikut termangu tidak jauh dari pintu kamar Tari pun kini sudah menjauh. Napas Tari tampak lebih teratur. Sepertinya dia sudah bisa mengendalikan diri dan menyingkirkan emosi.
“Aku mau tidur,” ucap Tari lirih dengan ekspresi datar.
Damar tahu diri bahwa itu pertanda dia harus segera pergi. Dia pun bangkit dari duduknya di depan pintu.
“Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aku,” pesan Damar sebelum keluar dan menutup pintu kamar Tari pelan-pelan dan tidak ada sahutan.
Sepeninggal Damar, Tari meringkuk di kasur lantainya. Dia memejam erat, memaksakan lelap yang tidak mungkin bisa hadir di saat ribuah gelisah menyergap.
Ke mana Asa pergi?
Kenapa ponselnya tidak dapat dihubungi?
Bagaimana Tari akan menghadapinya setelah ini?
Tari benar-benar lelah dan ingin beristirahat.
Malam harinya, Tari terjaga. Dia sedikit sulit bernapas karena hidung tersumbat. Kedua matanya pun sembab dan terasa berat untuk terbuka. Suara cecak mengganggu rungunya. Tari mengambil ponsel yang tergeletak di samping kasur. Baru pukul 21.00, tetapi dunia ini rasanya sepi sekali. Dia sendirian. Tidak ada yang menemani, kecuali sunyi.
Tari hendak ke kamar mandi, tetapi terhenti karena sosok yang sejak tadi dinanti tengah berdiri di depan pintu. Dia bergeming. Bibirnya bergetar kecil. Begitu juga dengan kelopak matanya yang sedikit gemetar.
Perempuan di hadapan Tari itu tersenyum tipis. Rambut panjangnya dikepang satu dan diberi pita berwarna biru pada ikatannya, senada dengan rok yang dikenakan.
Beberapa waktu lamanya, kedua perempuan yang berdiri saling berhadapan itu hanya diam, membiarkan hening mencuri waktu. Banyak hal yang ingin Tari ungkapkan, tetapi rasanya tidak mampu.
“Dari mana aja kamu, Asa?” Suara Tari sedikit tercekat, seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya.
“Maaf udah bikin kamu khawatir.” Tanggapan Asa tidak menjawab pertanyaan Tari.
Meski begitu, Tari tidak bertanya lebih lanjut. Dia mencermati sosok Asa lamat-lamat. Tatapan matanya. Senyum tipisnya. Cara perempuan itu berpakaian dan berbicara, Tari merasa ada sesuatu yang membuatnya terikat.