Tari berusaha tetap menjalani hidup yang normal. Dia mencatat semua hal, sepele sekalipun, tidak ada yang dilewatkan. Tari mengandalkan buku berukuran A6 yang selalu dibawanya ke mana-mana. Meski zaman sudah canggih dan ponselnya bisa menyimpan catatan, Tari lebih nyaman melakukannya secara manual. Alia juga menyarankan itu. Katanya, membuat jurnal bisa membantu.
Kinerja Tari tidak mengalami peningkatan. Namun, dia patut bersyukur karena hanya mendapat peringatan. Tidak dipindahkan. Apalagi sampai dihentikan.
Setiap hari Tari menyibukkan diri. Dia sengaja pulang malam meski tidak lembur. Dia hanya tidak ingin berlama-lama di kosan.
Tari baru saja memasuki gerbang kosan bertepatan dengan suara azan Isya yang samar-samar terdengar dari surau terdekat. Dia buru-buru menuju kamarnya dan mengunci pintu.
“Belakangan ini kamu lembur terus, Tari.” Asa menghampiri Tari yang baru saja melepas kardigan dan mencantolkannya di belakang pintu.
Tari bergeming. Berusaha sekuat hati agar tidak berbalik dan berhadapan dengan Asa.
“Kamu udah makan?” Asa kembali bertanya. Penuh perhatian seperti biasanya. “Jangan sampai nggak makan. Kamu harus perhatian sama dirimu sendiri.”
“Tari, kalau nanti Salu muncul lagi, kamu bisa mengabaikannya. Kamu juga bisa melakukan hal yang sama untuk lainnya.” Kalimat Alia itu terngiang dalam benak Tari.
Beberapa hal membuat Tari tersadar dan menguatkan pernyataan Alia bahwa Asa sama seperti Salu. Salah satunya kemunculan Asa yang sering kali tiba-tiba, seperti sekarang. Kalau Asa nyata, bagaimana bisa dia memasuki kamar yang terkunci ini?
Tari juga sempat menyambangi sanggar yang dulu dia kunjungi bersama Asa. Ternyata tempat itu hanya rumah kosong yang terbengkalai. Bahkan kini dipasangi spandung dengan tulisan: DIJUAL.
“Kamu lagi banyak kerjaan, ya?” Asa makin mendekat.
Tari menarik napas dan buru-buru melengos, menghindari Asa. Dia membuka lemari, mencari baju ganti, dan akan segera mandi.
“Kalau kamu mandi malam terus, lama-lama kamu sakit, Tari.” Asa masih terus menempeli Tari.
Getaran ponsel di tas menyelamatkan Tari. Dia bergegas mengambilnya dan memeriksa panggilan masuk itu. Nama Ibu membuat Tari bimbang untuk menerimanya.
Asa tiba-tiba memegang pergelangan tangan kanan Tari. “Nggak usah diangkat.”
Perhatian Tari dari nama Ibu yang terpampang di layar ponsel, beralih ke jemari Asa. Cekalan tangan itu terasa sangat nyata. Tari nyaris gagal mengabaikannya.
Tari segera menggeser tombol hijau dengan jempolnya dan mendekatkan ponsel ke telinga. Genggaman tangan Asa serta merta tertepis. Tari benar-benar berusaha tidak memedulikan eksistensinya.
“Halo, Bu,” sapa Tari sambul menjauh dari Asa yang terdengar mendesah kecewa.
“Ibu jatuh.” Suara Tristan terdengar menahan tangis. Dua kata dari adiknya itu membuat Tari runtuh. “Ibu jatuh di kamar mandi. Kak Tari pulang sekarang.”
Telepon itu terputus, disusul pesan masuk berisi pesan yang sama. Tristan meminta Tari segera pulang. Tari membatalkan niatnya mandi. Dia melempar baju yang sudah diambil ke kasur, lalu buru-buru mencangklong tas selempangnya. Dia tidak perlu membawa apa pun selain dompet dan ponsel.
“Ada apa, Tari?” Asa menghadang di depan pintu.
Tatapan Tari bersirobok dengan Asa. Kepedulian Asa terpancar nyata sekali. Tari ingin memintanya menemani pulang. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak sanggup terus menerus mengabaikan Asa. Namun, seketika itu juga Tari teringat bahwa Asa tidak nyata.
Tari membuka pintu tanpa menanggapi pertanyaan Asa. Dia harus bergegas. Butuh sekitar dua jam sampai di alamat tujuan. Dia tidak boleh membuang waktu.
“Tari, ada apa? Kamu mau ke mana?” Asa terus bertanya saat Tari mengunci pintu kamarnya. Namun, pertanyaan itu tetap tidak mendapatkan jawaban.
Setelah pintu terkunci, Tari berlalu meninggalkan Asa begitu saja. Dia berpapasan dengan Damar di depan kamar Imran. Pria itu sepertinya bukan pulang bekerja. Damar tidak membawa tas.
“Kamu mau pergi ke mana malam-malam begini?” Damar menelisik penampilan Tari.
“Pulang. Ibuku jatuh,” jawab Tari, raut wajahnya terlihat panik.
“Rumah kamu di mana?” Damar bertanya lagi. Dia belum tahu di mana Tari tinggal.