Disorder

Bentang Pustaka
Chapter #3

Insiden Tortellini

Takhta Suci Vatikan

JEJAK hujan berserakan. Angin musim gugur membelai mesra kerumunan yang menyesaki alun-alun Piazza di San Pietro. Musim dingin sebentar lagi datang melakukan kunjungan tahunan seperti sahabat lama yang setia kawan. Dari balkon Basilika Santo Petrus yang artistik, Paus Yohanes Paulus III mengutip Mazmur 9: 19 dengan semangat menggelora, “Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin dilupakan, bukan untuk selamanya hilang harapan orang sengsara.”

Sebuah khotbah artistik dari perayaan Hari Orang Miskin Sedunia yang berlangsung pada Hari Minggu Biasa ke-33 dalam kalender Gereja Katolik. Ini keriaan tahun kesepuluh—setelah diinisiasi Paus Fransiskus pada 2017—sebagai perayaan akhir Tahun Rahmat yang Luar Biasa. Tradisi romantik ini berawal dari sepucuk surat apostolik “Belas Kasih dan Penderitaan”— Misericordia et Misera—yang epik.

Paus Yohanes Paulus III meninggalkan balkon basilika. Sederet acara sudah menanti: menemui tamu undangan sembari makan siang di Aula Paulus VI, lalu mengunjungi sebuah kampus agama, dan menutup acara di tempat lain yang telah disetujui Vatikan sebagai tempat santap bersama masyarakat setempat. Jadwal sederhana yang saat dijalankan selalu menguras stamina. Apalagi pada hari saat kehidupan orang miskin menjadi fokus utama.

Paus selalu gelisah melihat umur dunia yang renta karena sudah memasuki milenium ketiga, tetapi jumlah kaum tak berpunya selalu menjadi mayoritas penduduk dunia. Juga penganut iman Katolik. Ini sekaligus menjadi ironi karena Vatikan selalu mendapat stempel sebagai tempat gelimang uang, kemewahan, dan harta benda yang menjulang.

Paus Yohanes Paulus III bukan tak menyadari kontradiksi ini. Namun, betapa pun dia ingin meningkatkan standar kehidupan umat Katolik—seperti juga diinginkan para Paus sebelumnya—pada akhirnya selalu berhadapan dengan cakar-cakar kapitalisme yang merajam dunia. Di luar maupun di dalam Vatikan. Bahkan, di tengah gelombang semangat menerapkan compassionate capitalism—kapitalisme cinta kasih—yang gaungnya semakin keras, tetap saja sebagian besar warga dunia hidup miskin akibat kesenjangan distribusi harta yang culas.

Para tamu di dalam Aula Paulus VI sontak berdiri begitu Paus mendekat. Pria karismatik yang tahun depan genap berusia 70 tahun itu tersenyum memikat. Dia tergolong muda untuk seorang Paus yang berusia rata-rata 76 tahun saat menjabat.

Bapa Suci memberi isyarat agar para tamu duduk kembali. Mereka adalah pejabat tinggi Takhta Suci dan undangan terpilih dari kalangan Protestan, Yahudi, Islam, Hindu, Buddhis, Zoroaster, Bahai, dan sebagainya. Posisi mereka diatur sedemikian rupa agar membaur.

Para pelayan menghidangkan makanan dengan cekatan. Mereka sudah terbiasa melayani acara seperti ini, bahkan ada yang sudah melakukannya lebih dari 20 tahun. Kepala Rumah Tangga Kepausan, Monsignor Alberto Gasparri, memantau pekerjaan anak buahnya dengan pandangan setajam mata elang mengintai anak ayam. Posisinya selalu berpindah-pindah tanpa banyak bicara, memastikan semua detail tak ada yang terlewat. Ketelitiannya melebihi seorang general manager jaringan hotel bintang lima berlian.

Setelah melihat seluruh menu terhidang, Gasparri memberikan isyarat khusus kepada Bapa Suci yang langsung mengeraskan suara. “Para tamu terhormat, semua makanan yang tersaji di hadapan Anda adalah kekayaan kuliner Italia yang memenuhi syarat kosher bagi para saudara Yahudi saya, memenuhi syarat halal bagi saudara muslim saya, dan tidak mengandung daging sapi bagi para saudara Hindu saya. Semua daging babi dalam resep asli diganti daging ayam oleh juru masak kami. Saya sendiri akan menyantap pork-free tortellini yang dari penampilannya saja langsung membuat liur saya mengucur sederas Air Terjun Niagara,” ujarnya menabur kelakar yang menyulut tawa menggelegar. “Mari kita nikmati anugerah ini dengan memanjatkan doa pujian sesuai keyakinan,” lanjutnya membuat tanda signum crucis—gerakan tangan membentuk salib imajiner.

Lihat selengkapnya