Pernikahan.
Sebuah kata yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benak pria yang sedang duduk beralaskan sapu tangan berwarna putih bersih. Badannya tegak tanpa bersandar sementara kedua tangan bersedekap menyembunyikan sarung tangan yang ia kenakan. Beberapa orang menatap aneh padanya, tetapi ia tidak acuh.
“Sendirian aja, Bro?” sapa seorang pria yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
“Don’t ‘bro’ me,” sahutnya dingin.
“Orang-orang ngeliatin dari tadi. Gak gabung sama keluarga lu?” tanya lawan bicaranya lagi. ”Jangan sampai mereka nyangka lu gak bahagia dengan pernikahan adik sendiri.”
Pria itu mendengkus. “Saya bahagia.”
“Orang lain ‘kan belum tentu seperti itu.”
Pria itu menggeleng. “Dion Poernomo cerewet.”
Dion tertawa lalu berkata, “Lu kemana aja? Reuni SMA sama kuliah gak pernah dateng, gimana mau tau perubahan sikap gue?”
Pria itu bungkam. Pikirannya berkelana ke masa sekolah dahulu, di mana berkumpul bersama teman-teman tidak pernah ada di kamusnya. Jadi, untuk apa datang ke acara reuni?
Jika bukan karena mengenal Dion sejak duduk di bangku menengah atas, mungkin hingga detik ini pria itu tidak dikenal oleh siapapun selain keluarganya.
“Mentari nanyain lu. Dia udah jadi dokter spesialis jantung di Singapur sekarang,” Dion melirik pria itu, “woi! Dengerin gue gak? Mentari nanyain lu.”