Jingga menyandarkan tubuhnya pada sebuah kursi kerja yang terbilang cukup nyaman di sebuah ruangan kecil. Ia berusaha mengatur napasnya yang sempat memburu, setelah bertemu dengan atasannya. Kegugupannya juga membuat ia lupa bertanya pada Raiden Kamndaka mengenai jabatan Kalani di rumah sakit itu.
Ruangan kecil yang diisi Jingga bukanlah ruang praktek, melainkan ruang istirahatnya. Sementara dokter atau psikolog lain menggunakan ruangan tersebut untuk praktek di sayap lain rumah sakit.
Jingga tidak membuka praktek layaknya psikolog rumah sakit pada umumnya. Ia langsung mengkonseling pasien yang baru saja di operasi ataupun selesai menjalani terapi berkelanjutan di bagian rawat inap. Ia juga bukan orang yang senang bertatap muka dengan kliennya. Baginya menganalisa klien secara daring lebih nyaman ketimbang harus bertatap muka. Akan tetapi, profesinya menuntut untuk bisa beradaptasi di lingkungan manapun. Tanpa alasan.
Jingga mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia jadi teringat flat kecil yang ditinggalinya dulu. Sekonyong-konyong, ia merindukan kota kecil itu. Mungkinkah ia bisa segera kembali ke sana?
“Assalamualaikum ….”
Jingga berdiri. “Walaikumussalam. Dokter Kamandaka?”
“Ini.” Raiden menyerahkan sebuah gawai berukuran 10 inci pada Jingga. “Di dalamnya sudah terdapat aplikasi yang akan memberitahukan dokter mengenai kondisi psikis pasien rawat inap di sini. Jadwal dokter juga sudah ada di sana beserta pengingat yang akan berbunyi lima menit sebelum waktu kunjungan pasien.”
Jingga menatap lurus rekan kerjanya. “Haruskah ada pengingat?”
“Anda bekerjasama dengan dokter van de Berg. Beliau sangat ketat dengan jadwal. Tidak boleh telat sedikitpun.”
Jingga memutarkan kedua bola matanya. “Baiklah. By the way, bisakah Anda memanggilku 'Jingga' saja tanpa embel-embel ’dokter’? Aku psikolog, bukan dokter.”
“Aturan dokter van de Berg semua seperti itu,” jawabnya, “tapi saya bisa memanggil nama Anda tanpa sepengetahuan beliau. Ataupun di luar jam kerja.” Melihat reaksi Jingga yang tertegun, seorang Raiden Kamandaka jadi salah tingkah. “Maksud saya, sebagai teman. Di luar pekerjaan.”
“Baiklah. Thanks.”
“Are you fine with that?”
Jingga mengangguk meskipun tersirat sedikit keraguan. Selama ini, ia tidak terlalu pandai dalam memulai suatu hubungan pertemanan. Meskipun pada akhirnya, ia memiliki dua orang sahabat.
“Satu lagi. Dokter van de Berg tidak menyukai sentuhan fisik. Jadi, jika ada pasien yang berusaha menjabat tangan beliau meskipun lelaki, tolong dicegah,” lanjutnya, “bagaimanapun caranya.”
Jingga mengangguk, tetapi otaknya mulai bekerja. Ia merasa ada yang janggal dengan Kalani van der Berg. Meski sudah memiliki dugaan, tetapi tidak bisa begitu saja langsung menyimpulkan. Masih banyak hal pendukung lain yang harus diamatinya.
Setelah Raiden keluar, masuklah seorang perawat berjilbab hijau, bermata bulat dengan sorot mata berbinar. Senyuman mengembang di wajahnya setelah menyapa Jingga.
“Saya Lily. Saya perawat sekaligus asisten dokter Jingga Natalegawa,” ujarnya.
“Kalau gak ada rekan sejawat, panggil namaku saja. Aku gak terlalu suka berbicara formal.”
“Bener? Gue seneng banget! Lega, ya Allah ….”
“Memangnya kenapa?”
“Gue dulu jadi perawat dokter van de Berg. Tiap hari bawaannya tegang terus,” keluh Lily. ”Segala protokol formal, kaku, dan tiap pulang kerja gue pasti nangis. Alhamdulillah, dokter Kamandaka selalu bantu. Kalau enggak gue udah milih resign aja.”
Jingga terkekeh. “Sampai sebegitunya?”
“Seriusan! Udah berapa kali perawat ganti. Bahkan dokter PPDS banyak yang tumbang karena beliau.”