Dua remaja putri sedang duduk di bangku taman di depan kelas. Siang itu terik, tapi dedaunan pohon beringin yang usianya entah berapa belas tahun, memberikan mereka keteduhan.
"Dit, kamu putuskan apa setelah ini?" ujar Tanja sambil memeluk tas biru langitnya dan memandang ke arah sahabat semata wayangnya, Dita.
"Kuliah," jawabnya singkat.
"Bukan. Kamu ikuti apa saran hasil psikotes itu atau memilih sesuai hati nurani?" Tania mengegas Dita dengan pertanyaan yang lebih lugas.
"Masuk IPA lah."
"Meski hasil psikotesmu menyarankan kamu masuk IPS?"
"Iya."
"Yakin?"
"Yakin."
"Hmmm..."
"Hmmm kenapa?" Kali ini Dita yang balik bertanya kepada Tanja.
"Aku masuk IPS sepertinya."
"Mengikuti saran hasil psikotes?"
"Bukan. Karena aku mau masuk Sekolah Tinggi Akuntansi"
"Kenapa di sana? Harus?"
"Harus kalau aku mau cepat kerja," jawab Tania mantap.
"Kamu masuk sekolah itu agar cepat kerja?"
"Iya, lulusan sana dijamin bekerja terutama di perpajakan, kan?"
"Aku tidak tahu."
"Itu retoris, Dita!"
"Oh."
"Lalu setelah bekerja?" Dita bertanya lagi.
"Ya menabunglah, bisa jalan-jalan, beli rumah, beli kendaraan, menikah. Umumlah."
"Oh."
"Oh lagi?"
"Seharusnya kujawab apa?"
"Bebas."
Dita merengut mendengar jawaban sahabatnya.
"Kalau bisa langsung bekerja, aku tidak merepotkan orang tua lagi, Dit. Mau jalan-jalan aja aku masih minta."
"Jalan-jalan itu harus?"
"Ya haruslah, itu kan bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, Dit. Lagipula banyak tempat instagramable yang perlu diviralkan." Tanja tersenyum mantap mengutarakan argumennya.
"Kalau tidak jalan-jalan, tidak bisa hidup?"
"Ya hidup dong, Dit, tapi gaptek!"
"Dari tadi pertanyaan dan jawabanmu maju, kalau kita mundur, boleh?"
"Mundur ke mana?"
"Ke belakanglah!"
Kali ini Tania yang dongkol dengan jawaban Dita.