Dita dan Tanja

Rifatia
Chapter #3

Dita dan Ibu : Cinta Terindah

"Hidup adalah perjuangan," gumamku.

Aku termenung sendirian di dalam kamar. Sambil memeluk bantal, aku duduk bersila di atas tempat tidur. Mengingat motivasi dalam buku seorang tokoh, yang kubaca tadi siang.

"Dita, kenapa belum tidur?" Suara Ibu menyadarkanku.

"Eh, Ibu. Belum mengantuk, Bu," jawabku sekenanya.

Memang iya, selain memikirkan kata-kata sang motivator itu, aku memang belum mengantuk, meski sekarang menjelang pukul sebelas malam. Ibu duduk di sisi lain tempat tidur dan mengusap lembut punggungku.

"Bu, apakah benar bahwa hidup adalah perjuangan?" tanyaku ragu.

"Iya, betul," jawab ibu pelan.

"Berarti manusia tidak bisa hidup lebih baik dari sekarang yang dialaminya? Misalnya tadinya miskin kemudian bisa menjadi kaya raya? Apakah dia harus terus menerus berjuang agar menjadi kaya raya? Dan yang terjajah akan selalu dijajah?" Aku sungguh penasaran.

"Bukan seperti itu maksudnya, Dita." Ibu tersenyum dan perlahan membetulkan posisi duduknya, hingga berhadapan denganku. Ibu memegang kedua tanganku dan terlihat akan melanjutkan kembali penjelasannya.

"Dita Sayang, hidup adalah perjuangan. Perjuangan berarti melawan sesuatu, sesuatu itu adalah diri kita."

"Diri kita?"

"Setiap manusia akan dihadapkan kepada pilihan setiap saat, sejak bangun tidur sampai ia bangun kembali seterusnya, sepanjang hidupnya. Setiap bangun pagi, Dita dihadapkan kepada pilihan, mau langsung bersuci untuk menghadapNya atau mau mandi terlebih dahulu. Orang lain mungkin dihadapkan kepada pilihan, mau bangun saat jam itu atau masih mau melanjutkan tidur."

Aku masih belum mengerti dan menatap ibu dengan harapan akan penjelasan lanjutan.

"Diri kita mengetahui konsekuensi dari pilihan yang kita ambil, tapi ada yang cepat sadar, adapula yang lama tersadar. Yang lainnya, mungkin ada yang tidak mau tahu dan tidak mau ambil pusing. Itulah perjuangannya."

"Konsekuensi?"

"Iya, akibat dari pilihan tadi. Setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Kalau kamu tidak mau belajar misalnya, maka kamu tidak akan paham tentang pelajaran tersebut. Oh, kamu sedang baca buku Life Excelent ini?" ujar ibu yang melihat buku seorang motivator ternama di masa ibu kuliah dulu. Aku meletakkannya di meja belajar.

Ibu mengatakan, buku itu dibeli di awal masa kuliah. Saat itu, kampus ibu mengundang motivator itu datang memberikan percikan api semangat pada mahasiswa baru. Dan ibu memberikan buku itu kepadaku kemarin lusa, saat aku berulang tahun.

"Kamu pernah dengar juga kalau dunia adalah tempat bersenda gurau? Atau dunia adalah panggung sandiwara?" Tiba-tiba ibu bertanya.

Aku mengingat sejenak kemudian menggeleng ragu.

"Tentang cinta?" tanya ibu lagi.

"Kenapa tiba-tiba Ibu tanya hal-hal seperti itu?"

Lihat selengkapnya