Ditampar Kenyataan

ratna fidelya
Chapter #3

03 : Kalbunya Dunia Kerja

“Terima kasih, Ibu. Selamat malam.”

Terduduk, Sheza merenggangkan badannya ketika pelanggan terakhir hari ini sudah pergi. Bukan sesuatu yang luar biasa memang jika toko ingin tutup, selalu saja ada pelanggan yang ngotot masuk padahal di pintu sudah ada tulisan close-nya.

Sejak awal kerja hingga hari ini, terhitung sudah lebih dari tiga kali Sheza mengalami. Namun Sheza tidak pernah mempermasalahkan, justru dia mempersilakan–walaupun kadang jam pulangnya harus lewat lima belas menit, bahkan pernah sampai tiga puluh menit. Sheza sama sekali tidak hitung-hitung.

Tapi, yang membuat Sheza tidak nyaman ini adalah temannya. Terlebih dengan gerutuannya di samping Sheza.

“Kemas-kemas, Za. Biar aku saja yang menyusun struknya supaya besok tinggal direkap.”

Sheza menganggguk, tidak menolak bantuan temannya itu. “Makasih, Mara. Aku ke belakang ambil tas dulu.”

“Buruan.”

Dengan cepat Sheza beranjak, buru-buru mengemasi barangnya. Dari ucapan Mara, Sheza tahu kalau perempuan itu tengah kesal. Namun, bukan kesal dengannya. Tapi dengan pelanggan tadi.

Bagaimana tidak. Sudah ngotot masuk, Ibu tadi juga mengomel dengan nada tidak mengenakkan perihal diskon peralatan mandi yang sudah habis jangka waktunya.

Tentu itu semua di luar kuasa mereka sebagai karyawan. Mereka juga tak punya hak apa-apa untuk mengatur itu. Dan Mara yang mendengar langsung saja moodnya berubah.

Mara adalah karyawan lama di sini. Dia sudah bekerja selama dua tahun. Umur mereka tak jauh berbeda. Tapi kalau soal pengalaman, tentu saja Mara lebih unggul dibandingkan Sheza yang baru terjun ke dunia kerja.

Kata temannya yang lain–yang juga bekerja di sini, Mara itu galak, sekali ngomong langsung nusuk, sarkas juga. Tapi menurut Sheza, Mara itu baik. Cara pikirnya kadang membuka mata Sheza untuk melihat lebih jelas. Mungkin mereka yang berbicara seperti itu tidak mengenali Mara lebih dalam. Begitu sih menurut Sheza.

“Lain kali pasang plang close-nya lima belas menit sebelum jam balik ya, Za.”

Sheza hanya mengangguk. “Iya.”

“Kita kerja ini nggak ada jam lemburnya. Jadi jam sekian kita tutup, jam segitu juga kerjaan kita selesai,” ujar Mara lagi. Kemudian kembali mendumel kesal. “Masih nggak habis pikir aku sama Ibu tadi. Sudah cerewet, marah-marah pula.”

Terkekeh melihat ekspresi Mara, Sheza langsung menyahut. “Namanya juga pelanggan, Ra. Pasti ada yang seperti itu.”

“Iya, aku tahu. Cuma kesal saja aku lihatnya. Mana kita harus nunggu dua puluh menit. Dan itu pun hanya membeli sabun cuci sama pasta gigi.”

Sambil mengunci pintu, Mara meneruskan ucapannya. “Ibu aku juga cerewet, Za, kalau soal belanja. Tapi, nggak begitu juga. Kehabisan diskon malah marah-marah. Kan jatuhnya aneh.”

Setelah memastikan semua aman, Mara mengajak Sheza beranjak–menuju belakang toko tempat kendaraan mereka terparkir.

“Dan dua puluh menit itu berharga untuk kita yang ukurannya karyawan,” lanjut Mara.

“Tapi benaran aku nggak masalah sama sekali kok,” sahut Sheza begitu tenang. Lain dengan Mara yang sudah memperhatikannya dengan alis bertautan.

“Za,” Mara menyentuh pundak Sheza pelan. “Loyalitas itu sekali-kali. Kalau keterusan itu namanya sedekah tenaga. Rugi di kamunya.”

Selain di cap galak, sarkas, dan ucapannya yang terkesan menusuk. Mara ini juga termasuk orang yang penuh perhitungan soal pekerjaan. Meski sudah bekerja lama, bukan berarti dia harus mengtidakapa-apakan tenaga yang terbuang percuma. Jelas hal sepele itu harus diperhitungkan.

Lihat selengkapnya