“Kamu sudah dengar, kan kalau sepupumu–Dania minggu depan mau menikah?”
Fokus Sheza teralihkan. Berita di televisi yang menampilkan perkembangan virus Corona di Indonesia tak lagi menarik perhatiannya, ketika suara Ibu terdengar.
“Minggu depan? Bukannya dua minggu lagi ya, Bu?” tanya Sheza sembari menggaruk pelipisnya.
“Lihat tanggal dong, Kak. Jangan lihat harinya.” Ibu, yang sedang melipat baju menggeleng. “Tanggal 19 itu minggu depan.”
Sheza yang sudah melihat kalender di ponselnya hanya menyengir.
“Tiga hari sebelum acara, keluarga kita kumpul di sana untuk bantu-bantu. Kamu jangan sampai nggak datang, ya.”
Ini masalahnya. Bukan. Bukan karena Sheza tidak mau bantu-bantu. Sheza menyukai itu, apalagi Dania merupakan sepupu terdekatnya. Hanya saja, bertemu dengan keluarga–yang kemungkinan besar akan ditodong pertanyaan ini itu, membuat Sheza ingin mengurung diri saja di kamar dan tak mau keluar.
Tapi … tak mungkin juga Sheza akan melakukan itu kembali. Seperti di nikahan Pamannya.
“Ingat ya, Kak. Jangan cari alasan lagi untuk nggak datang. Kamu tahu kan, kita kumpul keluarga itu kalau nggak lebaran, kabar kematian, ya nikahan kayak gini.”
Dan itu memanglah benar. Mempunyai keluarga yang berbeda pulau dengan jam terbang yang berbeda pula, merupakan suatu hal sulit untuk mereka bertemu selain tanya kabar via WhatsApp.
Dan untungnya, sang Ibu tak pernah melewatkan itu.
“Kakak pasti datang kok, Bu. Lagian, kalau batang hidung Kakak nggak kelihatan sama Dania, sudah pasti dia akan lempar bom nuklir ke sini.”
Kekehan Ibu terdengar. Sheza yang melihat lipatan baju Ibu-nya masih banyak ikut membantu. Cuaca di luar sedang hujan. Dan ini sudah berlangsung selama tiga hari. Jadwalnya, kalau tidak siang, malam, biasa juga pagi hari. Begitu terus sehingga halaman rumah Sheza tak pernah kering.
“Berarti Mak Usu (Bahasa Banjar; Bibi termuda) Indri juga datang dong, Bu?” Sheza meletakkan lipatan bajunya, mengamati sang Ibu.
“Dia sih nggak usah diingatin juga datang kali, Kak. Kamu kan tahu Mak Usu kamu kayak gimana,” sahut Ibu yang sudah hapal betul dengan watak adik bungsunya.
Terdiam, Sheza mulai membayangkan jika nanti dia bertemu dengan adik bungsu Ibu-nya yang rempong itu akan dilemparkan pertanyaan apalagi, setelah sebulan lalu mereka bertukar sapa yang detik itu juga Sheza menahan napas mendengarnya.
“Kok belum kerja sih, Kak? Kan sudah lulus kuliah?” Pertanyaan seperti itulah yang Sheza dapatkan kala dia masih menganggur.
Mungkin–untuk sebagian orang, pertanyaan tersebut merupakan hal yang lumrah dan terkesan biasa. Tidak ada damage apa-apa. Tapi kenyataannya, ada sebagian orang juga yang merasa bahwa semangatnya jatuh ketika dilontarkan kalimat seperti itu.
Siapa yang tidak ingin lulus kuliah langsung kerja? Siapa juga yang mau jadi pengangguran lama? Jelas, Sheza tak menginginkan semua itu. Bahkan rasanya sudah bosan Sheza menyebar amplop cokelat ke mana-mana. Dan … hasilnya masih juga sama. Nihil. Tidak ada panggilan satu pun.
Lalu, apa Sheza marah? Tentu. Tapi lagi-lagi orang disekitar tak mengerti dengan perasaan itu. Dan Sheza pun, hanya bisa menahan.
“Kak?”