Mungkin, akan ada banyak keluhan ketika hari senin tiba. Seperti; masih kurang liburnya. Masih ingin rebahan lalu bermanja-manja. Masih belum puas meluruskan pinggang yang seperti ingin patah. Dan masih banyak lagi keluhan-keluhan lainnya.
Tapi ini, tidak berlaku untuk Sheza. Terhitung baru dua minggu bekerja–yang artinya Sheza belum banyak merasakan pahitnya menelan libur pendek akhir pekan, justru terlihat senang.
Dan seperti biasa, rutinitas paginya sebelum berangkat kerja yaitu menunggu gerobak Mamang Sayur langganan komplek tiba.
Ibu-ibu di seberang sana sudah berkumpul. Riuh pembicaraannya mulai terdengar. Antara ragu Sheza ingin beranjak. Tapi ketika suara klakson motor memekakan telinga–tanda khas kedatangan si Mamang, akhirnya mau tak mau Sheza ikut bergabung ke sana.
Toge, kacang panjang, tahu, cabai, daun bawang. Bahan-bahan tersebut yang harus Sheza beli.
“Eh, ibu-ibu tahu nggak?”
Dan Sheza tahu, kalimat inilah yang menjadi awal mula pergibahan dimulai.
“Itu lho, kemarin, rumah Bu RT ramai. Katanya sih keciduk joget-jogetan di tengah jalan.” Ibu Aminah, yang sedang memilih sayuran tiba-tiba membuka suara. Beliau adalah tetangga depan rumah Sheza yang terkenal dengan tingkat kepo luar biasa.
“Eh! Masa sih, Bu?” Ibu Asti menimpal, nampak terkejut.
“Saya juga dengar kabar itu, Bu Aminah. Kata anak saya videonya viral, sampai masuk apa itu–aduh lupa saya namanya. Pokoknya ditonton seluruh Indonesia. Banyak di komentar netizen juga.” Ibu Ningsih ikut-ikutan menimbrung. Bahkan tangannya tak lagi memilih sayuran, tapi sudah berselancar di media sosial–mencari data yang akurat untuk dijadikan bukti.
“Ih… masa sih, Bu?” Bu Asti belum juga percaya.
“Bu Asti ini ke mana toh? Kudet banget! Warga kita sudah heboh, Bu Asti masih saja nggak tahu,” sindir Bu Ningsih terang-terangan. Lalu dengan cepat menunjukkan ponselnya ketika video yang dicari ketemu.
“Tuh, lihat. Komentarnya saja sudah sampai ribuan. Video ini sudah viral ke mana-mana, Bu,” lanjut Bu Ningsih, heboh.
“Berarti itu terbukti benar ya, Bu?” tanya Bu Aminah, memastikan kembali.
Bu Ningsih mengangguk cepat. “Ya bener lah, Bu. Orang Bu RT juga sudah klarifikasi minta maaf. Dia mengaku salah.”
“Owalah! Kayak anak kekinian saja ya Bu RT itu,” sahut Bu Asti menggeleng.
“Adoh! Pagi-pagi begini ibu-ibu sudah ngerumpi. Nggak baik, Bu. Itu … sayur saya juga jangan dibalik-balik. Layu nanti.” Si Mamang, dengan logat Madura-nya membuka suara. Prihatin melihat dagangannya dipilih-pilih tapi tidak dibeli.
“Idih si Mamang. Ini berita benar adanya, jadi bagian mana yang ngerumpi? Lagian, ini sayurnya memang sudah dari sana layu, makanya nggak kita ambil,” tukas Bu Aminah seraya menunjukkan daun sawi yang menguning.
“Tahu nih si Mamang. Sayur layu masih saja dijual,” sungut Bu Ningsih, ketus.
“Si Mamang ini pasti bete ya, nggak kita ajak ngobrol.” Bu Asih tiba-tiba menyeletuk. Sontak saja membuat Bu Aminah dan Bu Ningsih terbelalak, lalu menggeleng melihatnya. Segera mereka berdua menjauh.
“Teman Bu Ningsih itu, bukan teman saya,” kilah Bu Aminah.
“Saya juga nggak kenal, Bu,” tolak Bu Ningsih. Sedangkan si Mamang, yang melihat adegan lempar teman tersebut hanya menggeleng seraya merapikan sayur-sayurnya.