Deras hujan membasahi bumi, rebasnya mengenai ujung baju seorang perempuan yang berjalan sendirian. Satu tangannya menggenggam sebuah payung dan yang satunya lagi memegang termos berisikan kopi sambil memeluk setumpuk buku kuliah.
Langkahnya panjang-panjang melintasi jalanan yang becek, tali sepatunya sudah berubah warna dari tadi, dari putih menjadi cokelat muda. Ia berjalan seraya mengutuk langit yang ada diatasnya, tak bisakah langit menangis lain hari saja? Jangan pagi-pagi, saat dia harus berangkat ke kampus?
Sebuah klakson mobil dari belakangnya membuatnya menoleh, ada yang mau lewat dan dia menghalangi jalan. Lantas tanpa harus di klakson dua kali ia beranjak, bergeser ke trotoar, berharap bau tak sedap dari selokan disebelahnya tidak merusak nafsu sarapan yang ia jaga baik-baik. Sang pengendara mobil melaju meninggalkannya yang diam diatas trotoar.
Lagi-lagi ia hanya merenggut kesal, ia tau pengendara mobil itu teman satu kelasnya di kampus, tak bisakah ia setidaknya menawarinya tumpangan? Sepuluh menit berikutnya, perempuan dengan overall denim dan baju garis-garis itu sudah sampai digerbang kampusnya.
Sial, ia sudah terlambat 15 menit dan dosen mata kuliahnya tidak pernah menyukai mahasiswa terlambat. Ia pun memutuskan untuk duduk disebuah kursi dipenghujung koridor, kalau sudah begini, lebih baik ia menitipkan absen pada teman dekatnya, daripada harus berurusan dengan paper tambahan.
Hujan sialan! Umpatnya setelah mengabarkan perihal keterlambatannya di room chat Sekar. Ia pasti akan mendapat ceramah gratis dari teman dekatnya itu nanti saat jam istirahat, Kalau langit itu tidak rewel pagi-pagi seperti ini, aku sudah di ruangan itu dari tadi!
“Keta?” Perempuan yang disapa Keta itu menoleh, seorang perempuan berambut panjang sedang melambaikan tangan ke arahnya, tak butuh lama ia pun duduk di sebelah Keta, “Kamu kenapa diluar?”
“Aku telat Ra” Balas Keta, tangannya menggenggam kuat termos besinya, “Gara-gara hujan” demi mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Keta, perempuan berambut panjang itu tertawa, matanya menutup paksa membentuk lengkungan kecil, tangannya menutupi mulut, “Apa yang lucu Ra?!”
“Ah, yang benar saja Ta, masa’ iya kamu menyalahkan hujan?” Ketawanya makin kencang, “Yang benar, kamu salahkan diri sendiri karena telat”
“Tidak ada yang salah dari Aku, kenapa salahkan diri sendiri?”
“Aku tanya, kapan kamu sadar langitnya mendung?”
“Saat keluar rumah?” Jawab Keta asal.
“Lantas, kenapa masih jalan kaki saja ke kampusnya? Kamu kan bisa naik angkutan umum, atau minta dijemput Aku atau Sekar, tidak akan merepotkan Ta” Jawabnya.
Keta mendengus lalu tersenyum, “Kamu sendiri kenapa diluar kelas?” Ia bertanya, mengalihkan pembicaraan.
Denara menaikkan alis, “Kamu bukan ahlinya dalam membelokkan arah pembicaraan” Ia beranjak, “Aku dari toilet dan sekarang mau masuk kelas lagi, aku duluan ya”
Keta mengangguk dan melihat punggung Denara menjauh dan hilang dibalik tembok. Ia menghela nafas bosan lalu melihat jam tangan kebesaran di pergelangan tangan kirinya, masih 1 jam lagi.
Akhirnya, demi membunuh bosan, Keta berjalan menuju kantin fakultas, melewati beberapa kakak tingkatnya yang sedang membolos mata kuliah di salah satu meja. “Pagi Mas” Sapa Keta.
Mas Joko, penjaga kantin, tersenyum, “Pagi Mbak Keta, mau pesen apa?”
“Aku mau roti bakar keju, menteganya sedikit saja” Jawab Keta seraya menyerahkan 2 lembar uang berwarna ungu, “Kembaliannya diambil saja” Ucapnya lagi sebelum berjalan memilih tempat duduk
“Matur nuwun Mbak!” Balas Mas Joko, Keta bisa melihat bahagia kecil yang tersirat di binar matanya. Mas Joko adalah salah satu pegawai kantin yang Keta kagumi, ia seorang difabel yang memiliki semangat tinggi untuk tetap menjalani hidup.