"Aku duluan ya" Keta menoleh, satu persatu teman-temannya sudah pulang. Rapat BEM sebenarnya sudah kelar sedari tadi, tapi hujan turun lagi membasahi bumi. Kan kataku, gara-gara Hujan!
"Ta?" Seseorang menepuk bahunya, tanpa ditoleh pun Keta tahu itu Raffan. Diantara lima sahabatnya hanya ia dan Raffan yang ikut BEM, sisanya memilih kegiatan yang lain "Lu nunggu hujan reda ya?"
Keta mendengus, Raffan selalu saja memanyakan sesuatu yang ia sudah tau jawabannya, "Lu nanya yang mutu dikit coba Raf"
Ia tertawa kecil, "Bareng gua aja yuk" Ajaknya.
"Lo gila ya?" Tanya Keta, "Bokap bakal bunuh gua kalo ketahuan gua pulang bareng cowok!"
"Ngga dibunuh juga kali Ta" Tawanya justru mengencang, "Paling lo dimarahin doang"
"Ngga tetep ngga Raf" Keta menegaskan kalimatnya, kali ini dia benar-benar tak mau digugat. Sebenarnya ada satu alasan yang membuat Keta menolak ajakan Raffan, tapi ia tak mungkin mengatakannya.
"Ini udah jam 5 sore lho" Raffan mendesaknya, Keta menggeleng, "Ya udah"
Dengan gerakan cepat, Raffan melepas bomber merahnya dan menyampirkannya dibahu Keta, lantas ia berlari ke arah parkiran, menuju mobil sedan hitamnya yang terparkir dibawah pohon jambu. Tak mampu berkata apa-apa, Keta merutuki diri sendiri, mau bilang apa dia ke Ayah kalau ditanya ini bomber siapa?
Akhirnya Keta sampai ke rumah saat jarum pendek mengarah ke angka 7, ia memasuki rumah perlahan, mobil Ayahnya sudah rapi di garasi, makin ketahuan lagi ia pulang telat, bomber Raffan sudah ia sembunyikan kedalam tas, semoga saja ayahnya tak sadar akan kapasitas tasnya yang terlampau penuh.
Keta menutup membuka dan menutup pintu rumah sepelan mungkin, semua cara untuk menunda amukan Ayahnya harus ia coba mati-matian. Sejenak Keta berdiam dulu di ruang tamu, menguping suara dari arah meja makan. Dua menit, tak ada suara dentingan sendok dan piring, pastilah Ayahnya sudah naik ke ruang kerjanya di lantai atas.
Saat Keta melangkah masuk ke bagian dalam rumah, melintasi meja makan yang sepi dan ruang keluarga yang kosong, ia menghela nafas lega, setidaknya belum sekarang ia akan amuk. Huh.
"Amaketta?" Astaga. Itu suara dingin Ayahnya. Keta menoleh ke belakang, di bagian pojok ruang keluarga, Ayahnya sedang mengerjakan entah apa di laptop. Keta membeku, baiklah, saatnya menyiapkan hati, "Kamu tau jam berapa ini?"
"Jam tujuh" Cicit Keta
"TAK ADA YANG MEMINTAMU MENJAWAB!" Suara Sang Ayah menggelgar di ruangan itu, matanya menatap nyalang ke arah Keta, sedangkan putrinya menatap arah lain, enggan membalas, "Habis ngapain kamu di kampus?" Intonasinya sudah turun separuh, Keta diam tak mau membalas, "JAWAB AMAKETTA!" Teriaknya lagi
Kalau bisa memutar bola matanya, sudah pasti Keta lakukan dari tadi, tadi jawab salah, sekarang malah diamuk karena tak menjawab, "Aku ada rapat BEM"
"BEM!" Ledak Ayahnya, laptop silver yang tadi dipangku sudah diletakkan diatas meja santai disebelahnya, Sang Ayah berdiri dari kursi, "Kamu itu saya biayai kuliah! BUKAN MALAH IKUT ORGANISASI YANG MEMBUAT KAMU LENGAH SAMA TUGAS!"
Ayahnya berjalan mendekat, nafas Keta menderu menahan amarah, apa-apaan itu?! Lengah dengan tugas? Keta pengatur waktu yang baik, justru ia membantu teman-temannya yang lain menyelesaikan tugas dari dosen.
"Ini nilai banyak yang B, masih berani ikut BEM?!"
Jantungnya seperti berhenti berdetak, sekarang emosinya sudah terpancing naik, "Keta udah janji buat ngulang matkul Keta, Ayah" ia berkata tegas tapi pelan, dia harus bisa terkendali diawal.
"Kamu bodoh apa ya?! Kamu tau Cum Laude hanya didapat tanpa PENGULANGAN!" Ayahnya membentak, menekan pada kata 'pengulangan'
Keta menatap tajam Ayahnya, siapa juga yang mau Cum Laude? Batinnya, Keta masuk jurusan Manajemen Bisnis juga karena kehendak sang Ayah, kalau mendiang Ibu masih ada, pastilah ia lebih bebas memilih jurusan.