Ditengah Jalan

Sepi Sunyi
Chapter #4

Bab 3

Hari minggu. Tiga hari setelah kejadian Keta pulang kemalaman. Selama tiga hari itu pula Keta dan Ayahnya saling diam ketika berada di satu ruangan. Mungkin, hingga sarapan pagi ini.

Keta turun tangga menuju meja makan untuk sarapan setelah mencuci muka, meninggalkan bekas-bekas tidur semalam. Pagi itu Mbok Suni sudah memasakkan nasi goreng seafood kesukaan Keta. Keta semangat mengambil piring dan mulai menyendokkan sesuap nasi memasuki mulutnya, seketika campuran rasa udang, cumi dan daun bawang itu menghantam Keta. Kunyahannya berhenti, dulu ini kesukaan mama juga..

Keta menggelengkan kepala. Tiga hari terakhir ini juga Keta jadi lebih sering mengingat Mama. Sebenarnya memimpikan Mama dalam tidur sudah biasa, tapi dengan kombinasi pagi yang buruk dan pulang yang disambut dengan amarah, benar-benar membuat Keta kelimpungan menahan emosinya.

Keta memang cenengeng, dia mengakuinya. Apalagi sejak Mama pergi, sifat buruknya yang satu itu makin-makin. Hanya Agan yang bisa mengimbangi tangisan Keta.

Keta menggeleng lagi, tadi mama, sekarang Agan, ada apa dengan benaknya pagi ini?

Keta melanjutkan sarapannya, kali ini sambil memainkan ponselnya, setidaknya benaknya bisa lebih mudah teralihkan. Baru setengah jalan, Keta mendengar langkah kaki dari tangga. Waktunya siapkan muka datar, semakin sedikit ekspresi, semakin sedikit kemungkinan ada gejolak emosi lagi. Hal terakhir yang Keta butuhkan pagi ini adalah gelombang emosi lagi.

"Ponsel Amaketta" Ucapan itu menghentikan sarapannya lagi, ia mendongak. Astaga, baru tadi dia berniat membuat sarapan ini sunyi, sekarang justru belum dimulai misi sederhananya, sudah buyar saja, "Amaketta" Suaranya sudah meninggi satu oktaf.

"Iya" Keta mematikan ponselnya dan menaruhnya bisu disebelah piring, mencoba normal sebisa mungkin, ia melanjutkan sarapan.

Saat sudah tandas nasi goreng itu dari piringnya, Ayahnya berdeham, "Kamu cek di aplikasi kantor, approve semua yang dari direktur keuangan, Ayah mau ke venue tower dulu"

Keta mengangguk dan segera menaiki tangga menuju kamarnya untuk segera bersiap-siap, setelah mandi dengan cepat, ia mengenakan kemeja linen hitam dan skinny jeans, rambut sepundaknya dijepit ke atas. Ia harus berpenampilan sopan, takut nanti ia dibutuhkan di kantor.

Tujuh langkah dari kamarnya adalah ruang kerja Ayah. Ruangan dengan nuansa tahun 90-an itu selalu membuat Keta menghela nafas.

Jika ditanya mengapa tidak pernah bergabung dengan sahabat-sahabatnya tiap akhir pekan, jawabannya ada di ruangan penuh dengan mebel mahoni itu. Ruangan penyiksaan abad 20 bagi Keta. Ditengah ruangan itu meja kerja Ayahnya seperti mengejeknya, selamat menghabiskan hari denganku lagi Amaketta..

Untung saja meja itu tak betulan bisa bicara.

Keta sendiri berjalan menuju pojok kiri bersebrangan dengan meja poles itu. Disana, meja sederhananya juga seperti mengajaknya berbicara, Semangat menempuh hari Amaketta..

Bagus sekali, Keta sudah cocok menjadi kandidat rumah sakit jiwa. Sudah susah mengendalikan emosi, sekarang ia berkhayal meja bisa berbicara. Jangan-jangan Keta sudah mengidap Skizofrenia dari dulu.

Lamunan bodoh Keta akhirnya dibuyarkan oleh suara telfon masuk, Keta merogoh saku jeansnya, ponsel silver itu segera menempel di daun telinganya.

"Pagi" Sapanya terlebih dahulu

Lihat selengkapnya