Namaku Risma--usia dua puluh empat tahun. Menjadi seorang indigo adalah hal yang tak pernah bisa lepas dari penglihatan mata telanjang maupun dengan mata batin. Terutama makhluk tak kasat mata, jin misalnya.
Sejak kecil aku sudah mampu melihat hal demikian, awalnya takut dan frustasi. Lama-kelamaan jadi terbiasa, meski tak dapat dipungkiri rasa takut itu masih ada.
Aku tak pernah ingin memiliki kemampuan ini. Namun, Allah memberikannya untukku. Beberapa orang tak mempercayai dengan hal-hal ghaib semacam itu. Tak jarang pula menjadi pro dan kontra. Bahwa, memiliki kemampuan melihat makhluk lain di alam ghaib adalah musibah, bisa mengganggu akidah kita.
Wallahu a'lam ... aku masih sangat minim dalam hal agama. Yang kutahu selagi hati ini bersih tak masalah, dalam arti tak melakukan sesuatu yang di luar syariat Islam. Aku menerima ini sebagai takdir, dan aku hanya menikmati dan syukuri apa yang sudah Allah berikan untuk hidupku.
"Ris, aku mau curhat dong," ujar Dewi. Teman sekelasku dulu waktu SMP. Sejak reuni yang diadakan lebaran kemarin, kami jadi sering ketemu. Hari ini aku main ke rumahnya.
"Curhat apaan?" tanyaku. Entah kenapa pikiranku sudah mulai tak enak, menangkap sesuatu yang akan memicu mata batinku bekerja.
"Aku itu katanya ada yang ngikutin gitu, Ris. Memang sih, aku juga sering ngrasain. Seperti ada yang nemenin kalo lagi sendirian."
Deg! Sudah kuduga. Sedari tadi aku pun melihat ada makhluk lain di sini. Seorang wanita berambut panjang, wajahnya penuh dengan darah. Namun, sebisa mungkin aku menyembunyikan itu. Aku tak mau jika makhluk itu menyadari bahwa, aku bisa melihatnya.
"Emm ... kata siapa?" Aku bertanya seolah-olah tidak tahu.
"Kata orang pinter. Jadi awalnya aku itu sering kesurupan gitu waktu kerja di pabrik roti dulu, dari situ aku suka ngerasa ada yang ngikutin. Hiiiy ...," jelasnya sambil bergidik ketakutan.
"Kamu pernah liat gak yang ngikutin kamu itu apa?"
"Enggak," jawabnya sambil geleng-geleng kepala.
Bagus! Mending gak liat, biar aku aja. Kamu gak akan kuat.
"Ya, udahlah, Wi. Mending gak usah pake orang pinter segala. Perbanyak dzikir aja, salat jangan sampai ditinggal. Insya Allah jin apa pun gak bakal betah ngikutin kita, dia pasti kabur sendiri." Aku mencoba menasihati gadis berlesung pipi itu. Padahal aku sendiri saja masih suka bolong-bolong salatnya, sok nasehatin. Astaghfirullahaladzim ....
Cukup lama kami berdua cuap-cuap. Dewi yang dulu pemalu, tak kusangka memiliki deretan mantan dalam kisah hidupnya. Semua diceritakan tanpa sisa. Aku malas sebenarnya, sepuluh mantan diceritain semua. Dari mulai kenalan, tempat biasa buat pacaran sampai akhirnya putus. Ngeselin gak tuh?
"Wi, udah malem. Aku pulang ya?" pamitku padanya.
"Yaelah, bentar lagi kali. Masih asyik ngobrol juga," jawabnya santai beud kaya di pantai.
"Apaan, yang ngobrol dari tadi bukanya kamu? Aku mah dengerin doang. Yeee ...." Gadis yang usianya sepantaran denganku itu hanya meringis.
Hari sudah cukup malam, akhirnya aku bisa pulang juga. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kurusku, pukul 21:05. Tanpa membuang waktu, kustarter motor matic, kemudian melaju dengan kecepatan sedang.