Ditikung Ijab Kabul

Writer In Box
Chapter #2

Apakah dosa belum menikah?

Aku menarik pagar rumah yang cukup tinggi itu. Kudapati pintu rumah terbuka lebar. Kulihat sandal yang berada di teras warna lembut tidak asing bagi mataku. "Kakak!" gumamku sembari membuka sepatu yang aku kenakan.  

"Kakak baru datang?" berjalan menuju ruang tengah. Di mana Kak Farah duduk menatapku dengan senyuman.

"Delisa sini! Kakak mau bicarakan sesuatu!" Kak Farah menepuk lembut sofa yang didudukinya. Meminta aku duduk di sebelahnya.

"Sesuatu apa, Kak!"

"Aku sungguh lelah!" keluhku menyeret ranselku yang mulai jatuh ke lantai.

"Makannya ke sini dulu!" Kak Farah dengan wajah antusias ingin bercerita.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan berkata, "Ada apa, Kak? Kayaknya antusias bener!"

Aku 'pun duduk di sebelah wanita yang aku sayangi itu. Pastinya setelah Ibuku.

"Kamu kenal Ibu Rahmawati tetangga kakak dulu 'kan?" 

"Hmmm. Iya kenal, memangnya kenapa, Kak?"

"Anaknya sedang mencari seorang istri dan Kakak berniat mengenalkannya denganmu!"

"Aku bukan dagangan, Kak! Diobral mulu!" dengusku kesal.

"Bicara kamu suka asal, deh!" Kak Farah memukul pahaku. 

"Aduh, sakit Kak!" Aku mengusap kulitku yang perih.

"Ayolah dek buka hatimu. Latar belakangnya sangat bagus, dari keluarga baik-baik. Agamanya 'pun bagus. Pekerjaannya juga mapan. Ia seorang PNS di kementrian," jelas Kak Farah layak seorang sales yang mempromosikan sebuah produk dengan standard limited edition.

"O, begitu!" jawabku santai. Mendengar intonasi penekanan pada kata PNS membuat telingaku berdiri. Memang profesi satu ini favorit calon mertua se-Indonesia raya. 

"Kalau kamu mau, Kakak dan Ibunya akan mengatur segalanya. Setidaknya kamu ketemu aja dulu!"

suara antusias Kak Farah membuatku terdiam sejenak, dan terbawa akan lamunan yang panjang penuh kebimbangan dalam mejalani kehidupan.

"Kamu diam kakak anggap setuju!"ucap Kak Farah menghentikan lamunanku.

"Setiap kali perempuan diam selalu langsung disimpulkan setuju. Tidak pernahkah terpikirkan bahwa diamnya seorang perempuan, karena ia tidak memiliki pilihan lagi!" keluhku.

"Delisa ingat umurmu. Semakin bertambah umur perempuan. Maka, semakin tiada pilihan baginya!" jelas Kak Farah. Aku sadar ia mengkhawatirkanku, tetapi adakalanya kesendirian membuat seseorang lebih nyaman. Meskipun, tidak dipungkiri di lubuk hatiku yang terdalam aku ingin seperti wanita seusiaku, menikah, punya Anak. Keluarga kecil yang harmonis dambaan setiap insan manusia di bumi. Jalanku hanya sedikit berbeda. 

"Siapa yang tidak ingin menikah, Kak? Tetapi tidak begini juga?! Aku tidak ingin menikah hanya karena usiaku tidak muda lagi!"

"Aku ingin bertemu dengan lelaki yang tepat...." Aku menggenggam tangan Kak Farah. Berharap ia mengerti apa yang aku rasakan dan pikirkan.

"Tiada lelaki yang sempurna di dunia ini Delisa! Sampai kapan kamu akan menunggu seseorang yang tidak terlihat hilalnya?!"

"Aku memilih hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang salah, Kak...." Mengusap air mata yang tanpa aku sadari menetes begitu saja di pipiku.

Lihat selengkapnya