Ditikung Ijab Kabul

Writer In Box
Chapter #3

Hilal Jodoh

Anak-anak yang terlahir dari orang tua yang tidak berpendidikan dapat bertahan hidup, tetapi dalam keadaan tidak baik atau tidak layak. Mungkin mereka terlihat baik-baik saja. Nyatanya hanya terlihat begitu. Aku sempat berpikir tidak ingin menikah melihat segala gambaran pernikahan begitu gelap. Takut gagal, ditinggalkan, dikecewakan, dan dipatahkan. Cerita romansa yang indah sebatas pesta. Pesta sehari yang menghabiskan jutaan rupiah. Kebahagian sehari, kebahagian di dalam hidup ada pada hari itu saja. Seringkali lupa bahwa pernikahan bukanlah akhir dari sebuah cerita hidup. Pernikahan adalah awal untuk mencari ridho Allah yang membawa ke Jannah dengan setiap ujiannya. Atau pernikahan bisa juga jadi awal derita yang membawa ke dalam sudut dunia. Kaca-kaca yang ada di rumahku membuat runtuh harapanku akan pernikahan. Takut dikecewakan dan mengecewakan, seakan dinding tebal yang membuatku tidak beranjak dari titik yang sama di dalam hidupku. Aku pernah berada di suatu titik di mana aku telah menyerah dan tidak ingin menikah. Di mana alasan yang aku buat hanya pembenaran atas setiap ketakutan yang aku alami. "Jika aku menikah, bisakah aku menjadi ibu yang baik, istri yang bijak dengan masa lalu yang terus mengikutiku dengan serpihan pecahan kaca rumahku?!" Pikirku.

Aku menatap ke arah jendela kamarku dengan tubuh masih terbaring di ranjang. Jika aku menikah apakah hidupku akan lebih baik atau akan seperti mereka?. Begitu banyak kemungkinan dan aku belum berani melangkah mengambil satu kemungkinan yang aku miliki. Pernikahan di dalam benakku tiba-tiba menjadi menyeramkan lagi ketika masa lalu bermunculan di kepala. Spekulasi yang dibentuk oleh pertahanan diriku menjadi tembok besar yang kokoh. Hanya karena melihat kasus-kasus perceraian, kdrt dan perselingkuhan membuat aku takut untuk menikah, kalo sendiri aja bisa buat aku bahagia kenapa harus menikah. Memikirkan tentang pernikahan membuat isi kepalaku penuh cabang. Aku bangkit dari tempat tidurku. Lalu membuka lemari yang tepat berada di depanku. Aku ambil hijab instan berwarna peach itu, dan langsung mengenakannya menuruni tangga untuk menuju ke lantai bawah. 

"Kapan ini tetangga datang?" tanyaku ke Kak Farah. Melihat seorang pria muda berambut sedikit gondrong, lurus, dikuncir dengan karet gelang sedang lahap menikmati makanan yang disuguhkan Kak Farah.

"Apa?! Kak Farah yang ngajak aku makan di sini!" balasnya dengan mulut masih dipenuhi makanan.

Dia Adalah Khalif. Sahabatku dari kecil, orang satu kampung, dan juga tetanggaku dari zaman behula hingga sekarang tinggal di Yogyakarta. Dia tidak jauh dariku. Bisa dikatakan kami bertumbuh dan merantau dari kampung bersama-sama. Cuma kami memilih jalan yang berbeda. Aku melanjutkan pendidikan S2 dan menjadi seorang dosen. Sedangkan, dia sehabis S1 membuka toko buku bertema cafe dan fokus menjadi penulis web/penulis novel online. Begitulah Khalif anaknya sangat idealis dan terkadang sangat tidak realistis. Pengejar passion sejati.

"Kamu juga mau makan, Dek? Kakak udah siapkan makanan buat kamu," ucap Kak Farah membawakan sepiring nasi dan lauk gulai ikan pangek masin. Makanan khas Minang kabau. Ikan laut yang dibumbui dengan rempah-rempah dan santan itu terlihat begitu lezat.

"Kakak belum pulang?" tanyaku mengambil makanan yang diberikan Kak Farah.

"Kamu ngusir, Kakak?!"

"Bukan gitu, Kak. Aku hanya nanya, doang!"

"Bilang aja kalau kamu mau Kakak cepat balik pulang."

"Jangan cepat-cepat balik pulang, Kak. Lamaan dikit di sini, Biar kita bisa makan enak dan perbaikan gizi!" sela Khalif. Aku melirik dongkol ke arahnya. 

Khalif menarik bawah matanya tanpa expresi untuk mengejekku.

"Makannya Kak Khalif buruan nikah, biar ada yang masakin," ucap Alia yang sedang rebahan main handphone di ruang tengah.

"Bener sebaiknya kalian berdua segera menikah udah kepala tiga!" tegur Kak Farah yang sedang berdiri ditengah-tengah kami yang sedang duduk menikmati makanan di meja makan.

Huk....

Huk....

Huk....

Khalif langsung batuk tersedak mendengar ucapan Kak Farah. Sedangkan, aku rasanya makanan tinggal di tenggorokan tidak bisa ditelan ketika kata-kata kepala tiga masuk ke lubang telingaku.

"Yang satu sibuk cari uang, menua di kampus dan yang satunya sibuk dengan dunianya sendiri. Lengkap sudah! Hahahaha!" gumam Alia.

"Anak kecil tahu apa kamu!"

"Pastinya labih tahu banyak hal dari pada Kakak!" jawab Alia sembari berjalan ke arahku dan memakan kerupuk yang ada di piringku, dan berlalu pergi masuk ke kamarnya.

"Kakak kenapa nikah-nikah mulu pembahasannya, sih!" dengusku.

"Karena menikah adalah Ibadah penyempurnaan keimanan." Kalimat ini adalah senjata paling diandalkan Kak Farah untuk membujukku segera menikah. Hal itu terdengar, seakan hanya pernikahan ibadah di dunia ini. 

Lihat selengkapnya