Diujung Usia Kita Bertemu

Rasya hamzadinata
Chapter #1

Kanvas Kosong #1

Tik tok tik tok, suara detik jam dinding terdengar jelas di dalam ruangan studio kecil itu, terpadu dengan aroma cat minyak cat minyak yang menguar di udara. Ruangan itu dipenuhi lukisan setengah jadi, cat yang mengering di palet, dan peralatan seni yang berserakan, seolah menjadi potret pikiran pemiliknya yang penuh keraguan.

Di tengah ruangan, Erine duduk di depan dengan kanvas kosong. Tangan mungilnya yang menggenggam kuas bergetar sedikit. Matanya terpaku pada kanvas putih itu, mencari sesuatu mungkin inspirasi, atau mungkin keberanian. Di sebelahnya, sebuah foto tua berdiri di atas meja kecil ayahnya sedang tersenyum bangga di sebuah pameran seni besar. Foto itu seperti berbisik mengingatkan erine pada bayang bayang besar yang terus menghantui dirinya.

"Erine, sudah selesai? " Suara lembut ibunya memecah keheningan.

Wanita itu berdiri di depan studio, menatap putrinya dengan sorot mata cemas yang tak bisa disembunyikan.

Erine menoleh, menghela nafas panjang. " Belum, " Jawabnya yang pendek.

Kata itu keluar seperti pengakuan dari hati yang tahu betul penyebab kelesuanya. Bukan sekedar kekurangan ide, melainkan ketakutan akan waktu. Sebuah tekanan yang perlahan menghimpitnya setiap hari.

Ia tahu betul hidupnya tak akan panjang. Dokter sudah memberikan prognosis yang suram kondisi jantungnya semakin melemah, dan peluang untuk bertahan melewati beberapa bulan ke depan sangat tipis. Tapi Erine enggan memikirkannya. Ia lebih memilih tenggelam dalam dunianya, di balik kanvas dan warna-warna, meskipun belakangan ini ide-ide yang dahulu mengalir deras kini terasa seperti debu yang sulit ia genggam.


Setiap detik terasa seperti teka-teki yang belum selesai. Akan ada berapa hari lagi? Berapa jam tersisa untuk menyelesaikan satu lukisan terakhir yang bisa ia tinggalkan di dunia ini? Pikiran-pikiran itu menghantui, tetapi Erine tetap duduk, meski kuas di tangannya tak bergerak.

Hari itu, setelah bermenit-menit memandangi kanvas tanpa hasil, Erine memutuskan untuk keluar rumah. Ia mengambil buku sketsa kecil dari meja, memasukkannya ke dalam tas bersama pensil, lalu ia berjalan keluar dan memutuskan untuk mencari udara dingin, dengan harapan udara dingin menyambutnya, saat ia melangkah ke jalanan sepi menuju taman kecil dekat rumah sakit tempat ia menjalani perawatan rutin.

Langit tampak mendung, menggantung rendah seperti perasaan di dadanya. Tapi ia tidak peduli. Setiap detik di luar ruangan adalah hadiah, dan ia ingin menikmati sebanyak mungkin yang bisa ia raih.

Di taman itu, Erine menemukan sebuah bangku kosong di bawah pohon besar yang menjulang. Ia duduk perlahan, membuka buku sketsanya, dan mulai menggambar. Tangannya menarik garis-garis yang tidak pasti, ragu-ragu seperti hatinya sendiri. Garis-garis itu membentuk batang dan dahan, mencoba menangkap bayangan pohon tua di depannya.

“Kayaknya pohon itu lebih tinggi dari yang kamu gambar,” sebuah suara menyapa tiba-tiba.

Erine terkejut. Ia menengok, dan dihadapannya berdiri seorang pemuda dengan rambut sedikit acak-acakan. Kamera tergantung dilehernya, dan senyumnya cerah, bertolak belakang dengan langit mendung diatas mereka.

“Maaf,” katanya sambil tersenyum.

"Aku nggak bermaksud ngangetin. Cuma kebetulan lihat kamu lagi menggambar. "

Erine menatapnya dengan pandangan bingung, tak terbiasa berbicara dengan orang asing. Tapi sebelum ia sempat merespons, pemuda itu sudah duduk di bangku yang sama tanpa meminta izin.

“Namaku Reno, nama kamu siapa.” tanya reno sambil menyodorkan tangannya.

Erine ragu sejenak sebelum menjabat tangannya pelan. “Erine,” jawabnya singkat.

“Senang kenal sama kamu, Erine. Jadi, kamu seniman, ya?” Reno menunjuk buku sketsa di pangkuan Erine.

Lihat selengkapnya