Diujung Usia Kita Bertemu

Rasya hamzadinata
Chapter #2

Dibawah Atap Yang Sama#2

Hujan turun secara tiba-tiba, membasahi jalanan di sekitar taman. Langit yang sebelumnya hanya mendung kini berubah menjadi abu-abu gelap, seolah-olah langit bisa merasakan suara hati seseorang dibawahnya.


Erine, yang sedang berjalan pulang dari kegiatan singkatnya di taman, mempercepat langkahnya. Dengan tas kecil berisi buku sketsa di tangan, ia merasa tak berdaya menghadapi derasnya hujan yang datang secara tiba-tiba.


Ia menengok ke kanan dan kiri, mencari tempat untuk berteduh. Pandangannya tertuju pada sebuah gubuk tua di pinggir jalan taman. Gubuk itu kecil, dengan atap yang sudah agak miring, namun cukup kokoh untuk melindungi dirinya dari derasnya hujan. Ia berlari ke sana dan akhirnya tiba dengan napas sedikit terengah-engah.


Lalu Erine bersandar pada tiang kayu gubuk, ia merapatkan jaket tipisnya, berharap ada kehangatan yang tak kunjung datang.


Hujan deras mengalun seperti melodi monoton, berpadu dengan hembusan napas Erine, suara langkah kaki mendekat terdengar. Seseorang berlari tergesa-gesa sambil memegang kamera di tangan kanannya.


Erine mengenali sosok itu sebelum ia sempat menyapa.


“Reno?” tanyanya dengan ragu, matanya sedikit melebar.


Pemuda itu mengangkat wajahnya dengan senyuman, begitu melihat siapa yang berbicara. 


“Oh, kamu! Erine, kan?”


Erine mengangguk pelan, terkejut melihat Reno dalam situasi tak terduga seperti ini. Reno melepaskan jaketnya yang basah lalu menggosok-gosok tangannya untuk menghangatkan diri.


“Kayaknya kita emang ditakdirkan sering ketemu,” katanya sambil tersenyum.


Erine pun tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Lalu ia memandang hujan yang masih deras mengguyur jalanan.


“Kamu nggak bawa payung?” tanya Reno sambil menyandarkan kameranya di bangku kayu kecil di gubuk itu.


“Enggak,” jawab Erine dengan singkat.


“Kita sama, dong,” balas Reno sambil tertawa. Ia duduk di bangku, mencoba mencari posisi nyaman.


 “Tapi hujan kayak gini enak juga, ya. Rasanya damai.”


Erine melirik Reno, sedikit heran. Bagaimana bisa seseorang menikmati hujan yang membuat orang lain terburu-buru mencari tempat berteduh?


“Untuk apa kamu ke taman hari ini?” tanya Reno, memecah keheningan.


“Aku sedang cari inspirasi untuk lukisanku,” jawab Erine dengan perasaan ragu.


“Inspirasi, ya?” Reno tersenyum


“Kamu suka hujan?”


Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi membuat Erine berpikir sejenak. Ia mengangkat bahu, lalu berkata.


“Aku suka… tapi kadang juga nggak. Hujan mengingatkan aku pada waktu.”


“Waktu?” Reno mengangkat alis.


“Ya, seperti waktu yang terus berjalan. Kadang aku merasa hujan bikin waktu terasa lebih lambat, tapi juga mengingatkan kalau aku nggak bisa berhenti.”


Reno terdiam, merenungkan ucapan itu. Setelah beberapa saat, ia berkata, 


“Aku rasa itu yang bikin hujan spesial. Semua orang punya hubungan yang berbeda dengannya. Tapi buatku, hujan itu kesempatan untuk berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada di depan mata.”


Erine memandang Reno lebih lama kali ini. Cara Reno memandang dunia terasa ringan, jauh dari beban-beban yang sering ia rasakan.


“Kamu sendiri? Lagi apa di sini?” tanya Erine, mencoba mengalihkan topik.


“Aku tadi mau motret suasana taman sebelum hujan, tapi malah kehujanan,” jawab Reno sambil menunjuk kameranya.


 “Tapi siapa sangka, aku malah ketemu kamu lagi.”


Erine tersenyum tipis. Reno selalu punya cara untuk membuat segalanya terdengar sederhana tapi bermakna.


“Kamu suka motret?” Reno bertanya sambil mengambil kameranya.


“Enggak,” jawab dengan Erine jujur.


 “Aku lebih suka menggambar.”


“Oh? Menggambar apa biasanya?”


“Banyak. Tapi akhir-akhir ini lebih sering pohon, bunga, atau hal-hal sederhana.”


“Kamu mau aku ajarin motret?” Reno menawarkan dengan semangat.


Lihat selengkapnya