Sudah lama ingin kutuliskan kisah ini. Sebuah ingatan yang datang dari dua puluh lima tahun lalu, ketika aku masih bergerak di antara kerumunan massa aksi demo, dengan almamater yang saat ini dikenal sebagai "Kampus Pahlawan Reformasi". Aku adalah Bhanu Imba Cokroaminoto. Tidak ada pertalian darah dengan HOS Cokroaminoto sang pendiri gerakan politik pertama pada masa penjajahan Belanda. Tapi tentu saja ada pertalian hikmah antara wawasan sejarah kedua orang tuaku dengan doa dan harapan mereka atas figurku di kancah politik. Dan di sana aku berdiri saat ini.
Aku tidak menuliskan kisah ini sebagai autobiografi. Sebab ini hanya jeda antara waktu sarapan dan makan siang. Seorang wanita yang sangat kukagumi, sedang melakukan banyak aktivitas di balik dapur. Dan belum ada yang bisa kunikmati selain aroma harum rempah-rempahnya yang menyeruak ke ruang kerja ini. Aroma khas masakan ibu, yang memberiku cukup mood untuk akhirnya menuliskan sebuah kisah tentang seorang wanita paruh baya yang sangat berambisi menjadi jurnalis politik di salah satu perusahaan surat kabar tempatnya bekerja. Tapi sepanjang karir jurnalistiknya, wanita itu belum juga diberi akses untuk menginvestigasi berbagai perkara politik, sampai kemudian "Tragedi Trisakti" mengudara, dan ia bergerak di luar kendali perusahaan--dengan instingnya sebagai seorang ibu.
Dialah ibuku, Laksita Citta Gemani. Dan ini kisahnya...
(12 Mei 1998 05.45 WIB)
"Hari ini kamu jadi aksi damai le?" Tanya ibuku sambil menyodorkan sepiring nasi goreng di atas meja makan. Walau kecintaannya dengan dunia politik cukup besar, tapi aku tahu bahwa ibu menaruh kekhawatiran penuh terhadap segala aktivitasku sebagai mahasiswa hukum. Terlebih sejak ayah meninggal pasca kerusuhan 27 Juli 1996. Ia meninggal setelah mendapat perawatan yang intensif selama satu bulan. Tanggungjawabnya terhadap peliputan "Tragedi Kudatuli" itu menjadi sebab muasal luka parah yang didapatnya kala itu.