Pagi ini Laksita memulai pekerjaannya dengan hati yang gusar. Walau sebenarnya ini bukan aksi demo pertama yang dilakukan mahasiswa di bawah rezim orde baru--terutama pasca krisis moneter 1997, tapi tetap saja bayang-bayang akan banyaknya aktivis yang belakangan ini dinyatakan hilang--telah membuat ibu satu anak itu tidak nyaman dengan restunya sendiri kepada Bhanu; anaknya yang sekarang sedang melakukan aksi damai di universitas Trisakti dengan beberapa tuntutan terhadap Soeharto dan Kabinet Pembangunan VI--yang akhir-akhir ini menjadi sorotan sebab banyak mengalami perombakan susunan kabinet.
Sebenarnya ada banyak deadline yang diemban Laksita dan harus naik cetak hari ini. Termaksud berita tentang keberangkatan Tim Thomas Cup Indonesia yang sudah bertolak ke Hong Kong pada sebelas Mei kemarin. Dan tentu saja tentang update Piala Dunia FIFA 1998 yang akan segera digelar di Prancis pada sepuluh Juni mendatang. Sebagai jurnalis olahraga, tahun ini adalah 'tahun sibuk'. Bahkan selepas gelaran piala dunia berakhir, Laksita dan tim sudah akan disambut oleh ajang multi-olahraga yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali; Asian Games.
"Laks, anakmu kuliah di Trisaktikan?" tanya Guntoro, jurnalis politik yang sedang berkemas untuk meliput aksi damai di kampus tempat anak Laksita berkuliah.
"Iya, kamu tugas di sana Gun?"
"Iya. Infonya mau long march ke gedung MPR DPR ya?"
"Kata anakku masih second option, agenda paginya di dalam area kampus saja. Kalau memungkinkan ya bakal long march,....." kalimatnya terputus, Laksita tiba-tiba tertegun memikirkan sesuatu.
"Ohh gitu. Anakmu koordinator lapangan?"
"Bukan, dia bukan korlab. Ngomong-ngomong Gun, penjagaan hari ini ketat gak?"
"Haha, klise banget pertanyaanmu Laks, tiga puluh dua tahun hidup di zaman orde baru--masa pertanyaan sestandar itu masih perlu dijawab?!"
"........." Laksita semakin larut dalam kekhawatirannya.
"Takutkah anakmu hilang Laks?"
"Iya. Kabar aktivis-aktivis yang hilang itu, gimana Gun? Sudah ketemu?"
"Dengar-dengar sih belum, bahkan beberapa hari lalu malah dapat laporan ada yang hilang lagi."
"Wesss, jan! Sampai kapan satu persatu aktivis harus gugur di tangan rezim ini yo Gun?!"
"Entahlah. Nanti tak cari wangsit dulu" ujar ringan Guntoro sesaat sebelum berpamitan.
"Hahaha, yo wes hati-hati Gun. Berkabar kalau ada apa-apa ya. Nama anakku Bhanu Imba Cokroaminoto. Inget-inget kon!"
"Oke, kucatat." jawabnya sembari menuliskan nama tersebut ke dalam buku kecil yang selalu tergantung di lehernya.