Tepat pukul 18.55 WIB Laksita sampai di dekat gerbang Trisakti. Ia berlarian sejauh hampir lima kilo meter, selama lebih dari tiga puluh menit di antara gelap dan pekatnya sisa gas air mata. Andaikata suasananya tidak sekacau ini, Laksita tidak perlu meninggalkan motornya di sekitaran Slipi sana. Ia bahkan bisa tiba lebih cepat. Tapi gemuruhnya letusan yang menggema di langit, membuat Laksita ragu untuk terus berkendara--memasuki zona kerusuhan ini. Sebab bukan hal yang mustahil jika ketidakhati-hatiannya itu akan berimbas pada 'korban peluru nyasar'. Dan bukan untuk itu Laksita pergi ke sana.
Di sepanjang rute pelarian tadi, Laksita melihat puluhan orang yang tergeletak di jalan dengan beberapa di antaranya menggunakan almamater. Pada saat itu aparat keamanan sudah mulai berkerumun di sekitar Universitas Trisakti dan UNTAR. Sehingga menyisakan kelenggangan di beberapa titik lain sisa kerusuhan. Hal itu tentu membuat masyarakat menjadi leluasa untuk bergotong-royong melakukan misi penyelamatan. Dan Laksita sempat terlibat dalam misi tersebut. Ia bergerak dengan sigap, sambil terus berdoa bahwa tidak ada Bhanu di antara massa yang tergeletak itu. Sebagian yang nampak kritis diangkut ke ambulance, dan sebagian lainnya dibawa ke tempat peristirahatan terdekat. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami luka pendarahan di bagian wajah, serta keluhan di sekitar dada dan perut, akibat dari tindakan represif aparat keamanan--yang bahkan masih tega menendangi mereka dengan sepatu boothnya--pasca mereka tersungkur lemah karena gas air mata dan pentungan yang menghujam ke bagian-bagian vital.
Sekarang Laksita sudah berjarak sekian meter saja dari gedung-gedung perkuliahan--tempat bersembunyinya massa aksi damai-- dalam area universitas Trisakti. Tapi sayangnya Laksita tidak bisa masuk. Ada pasukan 'siap menembak' dengan formasi dua lapir--duduk dan berdiri--yang masih bersiaga tepat di depan gerbang Trisakti. Bahkan dari jarak dekat, Laksita bisa melihat juga bagaimana gerombolan bermotor dengan rompi URC--sebagaimana yang tadi diceritakan Guntoro--masih standby di atas jalan layang Grogol. Walau suara tembakan sudah mulai mereda, nyatanya ketegangan masih tetap terjadi di antara dua belah pihak. Tanpa ID persnya, Laksita tahu bahwa akan sulit untuk mendapatkan izin masuk dari aparat yang berjaga. Terlebih, dia memang sudah berjanji kepada Anggiat, untuk tidak menyangkut-pautkan dirinya dengan identitas surat kabar tempatnya bekerja itu.
"Bawa pasien ini pak, tolong kasih jalan tolong!" seorang mahasiswa berteriak dari dalam mobil ambulance milik kampusnya. Laksita menyaksikan bagaimana para aparat keamanan itu tidak bergeming dari titik formasi mereka--sekali pun sirine ambulance terus berbuyi cepat--menandakan kondisi kritis korban yang hendak mereka bawa. Aparat itu terlihat sangat memuakkan dengan kehegemoniannya yang tidak berperikemanusiaan. Hampir lima menit Laksita mengamati alotnya negosiasi di antara petugas ambulance dan aparat keamanan itu. Ia ikut gusar dengan menoleh ke kanan-kiri, mencari solusi.
"Apa ini?!" tegur salah seorang aparat keamanan kepada Laksita. Bersyukur ia masih membawa kamera miliknya di dalam tas. Sehingga ia pun terpikir untuk mengambil gambar 'momen penghambatan ambulance oleh aparat keamanan' itu dari jarak dekat--dan dengan menyengaja menyalakan blitz--agar aparat itu menyadari pengambilan gambarnya.
"Wartawan ndan." jawab Laksita sambil menunjukkan kartu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan identitas seorang jurnalis. Ia menunjukkan kartu itu dalam hitungan detik dan dengan sebagian besar bagian kartu yang tertutupi tangannya. Suasana di sana cukup minim cahaya. Laksita hanya mengandalkan keberuntungannya agar aparat keamanan itu percaya.
"Tunjukkan foto yang barusan kamu ambil!" titah seorang komandan, tanpa mencurigai kartu pers palsu yang baru saja Laksita perlihatkan.
"Siap ndan, tapi tolong izinkan ambulance ini keluar dulu." Laksita memulai negosiasinya.
"Kamu menantang?!"
"Tidak ndan, tapi fotonya cukup bermakna sebagai bukti penuntutan apabila sesuatu yang buruk terjadi pada korban di dalam ambulance ini."
"Kurangajar!" segelintir pasukan mulai tersulut emosi dan menabrakkan badannya kepada Laksita. Beruntung komandan itu lantas memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
"Buka jalan! Berikan kameranya!" dalam waktu bersamaan, sang komandan pun memberi instruksi kepada pasukannya dan sekaligus kepada Laksita. Maka Laksita pun bergeser sesuai arah formasi. Ia bertindak hati-hati dengan membiarkan lebih dulu ambulance itu pergi--sebelum memberikan kameranya.
"Lain kali hati-hati dalam mengambil gambar!" sang komandan lalu merebut kasar kamera itu ketika Laksita sedang lengah mengamati laju ambulance yang semakin jauh. Dan di luar dugaan, sang komandan melempar jauh kamera itu hingga ke dalam area kampus Trisakti. Amarah Laksita memuncak. Baginya, kamera itu bukan hanya tentang inventaris, melainkan juga peninggalan berharga dari mendiang suaminya. Tapi baru hendak Laksita menyerang kasar sang komandan; pasukannya sudah lebih dulu menghadang dan mendorong wanita paruh baya itu hingga jatuh dan terluka. Laksita masih sempat berteriak kesal dan hendak bangkit. Tapi lagi-lagi salah seorang di antara mereka mendorong jatuh Laksita dengan pentungan yang menghujam lurus ke perutnya.
"Laksita? Laksita!...." seseorang yang merasa mengenali wanita malang itu pun berteriak dari kejauhan. Laksita menoleh dan berlari terseok-seok ke arah Guntoro yang juga sedang berlari mendekatinya. Entah apa yang dikatakan sang komandan kepada pasukannya. Melihat upaya Laksita untuk melarikan diri itu--mereka justru hanya kembali pada formasi, dan membiarkan wanita itu bebas berlari ke dalam area kampus Trisakti--mendekati Guntoro dengan rompi pers dan kamera di tangannya.
"Kamu kok bisa di sini?" sambut Guntoro yang lantas membantunya berjalan.