DIVIDE ET IMPERA

Sastra Introvert
Chapter #5

13 Mei 1998

Kemarin adalah Selasa terkelam yang pernah Laksita hadapi. Hari dimana untuk pertama kalinya ia terlibat aktif dalam tragedi berdarah akibat konflik horizontal yang terjadi antara sipil dan aparat keamanan. Sebuah pengalaman yang cukup membuka cakralawa berpikirnya terhadap kasus-kasus kerusuhan serupa--yang terjadi belakangan ini. Terkhusus kasus tragedi yang baru saja terjadi di Gejayan Yogyakarta. Dimana pada tanggal 8 Mei kemarin, terjadi bentrok antara mahasiswa Universitas Sanata Dharma (USD) dengan aparat keamanan yang bergerak atas misi menghalang-halangi massa USD agar tidak bergabung dengan massa Universitas Gadjah Mada (UGM). Akibat dari bentrok tersebut, seorang mahasiswa USD ditemukan tewas karena pendarahan di bagian kepala sebab hantaman benda tumpul.

Semula, Laksita menganggap bahwa bentrok yang berujung kematian itu adalah wujud dari kehegemonian pemerintah yang anti kritik. Citra orde baru di bawah kepemimpinan diktator Soeharto selama 32 tahun ini sedikit banyak telah membangun stigma yang cukup buruk--terhadap aparat keamanan dan penegak hukum di Indonesia--dalam benak Laksita. Setidaknya, sampai sebelum tragedi Trisakti terjadi, telunjuk Laksita masih hanya mengarah kepada Soeharto dan kroni-knorninya yang haus kekuasaan.

Hingga kemudian, ia terjun langsung ke lapangan, dan berinteraksi dengan berbagai pihak di balik kerusuhan. Secara kasat mata, memang aparat keamanan yang harus bertanggung jawab penuh atas apa yang dialami oleh massa aksi damai Trisakti kemarin. Tapi beberapa statement para aktivis serta masyarakat sekitar--mendesak Laksita untuk melihat kembali setiap fenomena kerusuhan ini dengan sudut pandang yang lebih kritis dari sekedar definisi abuse of power. Terlebih saat sebagian di antara mereka memberi kesaksian, bahwa ada beberapa petugas keamanan yang juga saling bersitegang--sebab ketidaksetujuan salah satu pihak terhadap sikap represif pihak yang lainnya.

Benarkah bahwa semua ini ulah pemerintah dalam upaya membungkam aspirasi rakyat? Atau justru ada kepentingan-kepentingan dari pihak lain yang dengan sengaja telah menunggangi image buruk pemerintah--guna mendorong terjadinya konflik horizontal di kalangan rakyat--sehingga menciptakan fenomena politik yang berimplikasi kuat terhadap kepentingan mereka? Laksita terus menelaah dengan hati-hati.

"Hans, tanggal delapan kemarin, kamukan yang tugas ngeliput aksi damai mahasiswa di Yogyakarta?" Laksita mulai membuka diskusi dengan Hans dan Guntoro. Ia memelankan suaranya seperti cirikhas cara diskusi aktivis di masa orde baru.

Sejak dipulangkannya mahasiswa Trisakti dini hari, ketiganya tidak beranjak pulang. Beberapa senat mengonfirmasi kepada wartawan bahwa hari ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi akan berkunjung ke Trisakti untuk berbela sungkawa, mendesak pemerintah untuk mengadili dalang intelektual di balik kerusuhan yang terjadi kemarin, serta menuntut keadilan untuk para korban kerusuhan. Dan itulah yang kemudian membuat ketiga wartawan ini--beserta beberapa awak media lainnya--standby di angkringan sekitar Jl. Daan Mogot.

"Iya, ada yang meninggal juga waktu itu. Satu orang mahasiswa USD." Hans menjawabnya sambil meneguk segelas teh hangat yang tersaji di depan piring makannya. Ia juga memelankan suaranya.

"Bentrok kayak semalam juga?" Laksita semakin berbisik.

"Semalam aku datang ke lapangankan telat. Jadi gak begitu yakin. Tapi kalau dengar dari kronologi yang diceritain Guntoro, agak beda sih. Bedanya, tidak ada yang melakukan provokasi dari pihak mahasiswa. Ya meskipun sebenarnya kita sama-sama tahulah bahwa ternyata si provokator yang ngaku-ngaku alumni kemarin itu--ternyata bahkan tidak lulus kuliah di Trisakti. Sehingga tidak bisa juga disimpulkan bahwa si perusuh ini berasal dari pihak mahasiswa. Everythink is possible, you know what i mean?!"

"Sepakat Hans!" sahutan Guntoro yang begitu besar nyaris membuat hampir semua orang menoleh ke arahnya.

"Tsuuuut!" tegur Hans dan Laksita setengah panik. Guntoro pun mengangguk dan melanjutkan analisisnya dengan suara yang jauh lebih pelan.

"Apalagi aku juga ngeliat sendiri, gimana waktu itu beberapa satuan aparat, terlihat sangat tersistematis untuk melakukan penembakan yang terarah kepada mahasiswa. Dan di samping itu, ada juga satuan-satuan yang terlihat ngeblank untuk merespons prosedur pembubaran massa yang dilakukan sesama aparat keamanan--di antara mereka--dengan sangat anarkis. Tapi kemudian, kerusuhan yang semula--seolah--diciptakan oleh segelintir satuan aparat kemanan itu--mendadak berubah menjadi kerusuhan yang fatal, karena adanya pihak massa dan polisi yang jadi terprovokasi oleh situasi pada saat itu. Mind blowing banget sih kalau kalian lihat sendiri gimana detik perdetik menjelang kerusuhannya!" Guntoro sengaja meletakkan kembali bala-bala yang sudah hampir dimakannya. Ia merasa tertarik untuk ikut bertukar-pikiran dengan kedua rekan jurnalisnya.

"Yang paling aneh adalah, ketika tiba-tiba siang hari--gak ada angin gak ada hujan--dateng empat truk dari aparat pengendalian massa. Entah siapa yang manggil mereka. Padahal itu posisinya mahasiswa udah menghargai hasil negosiasi dengan Dandim dan Wakapolri JAKBAR. Gak ada pergolakan apapun yang berpotensi pada kerusuhan. Mereka legowo kalau memang gak bisa long march ke gedung MPR/DPR. Makanya mereka berinisiatif untuk bikin mimbar bebas aja di sana. Tapi entah kenapa aparat keamanan terus aja berdatangan dalam jumlah yang besar."

Lihat selengkapnya