DIVIDE ET IMPERA

Sastra Introvert
Chapter #6

Mereka Tiba

Laksita dan rekan-rekan jurnalisnya sudah sampai di titik yang strategis--yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari titik mimbar bebas--tempat muda-mudi itu berorasi, menuntut keadilan atas keempat teman mereka yang tewas dalam tragedi Trisaksi kemarin. Guntoro dan Hans mulai memainkan kameranya. Mereka berpencar, menyusup ke berbagai barisan massa untuk mengabadikan setiap momen pergerakan mahasiswa itu dengan angle yang bervariasi.

Semakin siang, jumlah demonstran yang hadir semakin banyak. Sampai dengan pukul setengah sembilan pagi ini, diprediksi sudah ada sekitar dua puluh ribu massa yang hadir dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka datang dengan mengenakan almamaternya masing-masing. Sebagian datang dengan menggunakan bus milik kampusnya. Sementara sebagian yang lain menggunakan jasa sewa angkutan umum, seperti kopaja dan metro mini.

"Jasa sewa angkutan umum???" Laksita bergumam dengan ingatan jangka pendeknya.

"Oh iya?! Info intelijen! Kok Guntoro dan Hans gak ada yang bahas soal ini sih tadi?! Cari tahu ke siapa dong? Erniyati mana mungkin tahu! Masa telepon Bang Anggiat? Gak mungkin gak mungkin!"

Di tengah kegusaran Laksita terhadap info intelijen yang kemarin didengarnya di kantor, sebuah suara yang tak asing mulai terdengar dari pengeras suara. Seruan bangkit dan bersatu dari seorang anak bujang yang dikhawatirkannya sedari kemarin. Bhanu Imba Cokroaminoto. Betapa leganya perasaan Laksita saat ini. Saat akhirnya dapat melihat sendiri bahwa anak semata wayangnya benar-benar dalam kondisi baik. Kelegaan itu bahkan sampai menarik paksa air mata dari pelupuknya.

Laksita melambaikan tangannya sambil sesekali meloncat dan berteriak mengikuti komando orator. Sayang, upaya dari seorang ibu yang tengah berusaha mendapat perhatian anaknya itu tidak semulus harapan. Bhanu belum juga menoleh, menatap, atau bahkan menyadari keberadaan sang ibu di antara puluhan ribu masa yang bergerak aktif di hadapannya. Namun Laksita tidak ingin berputus-asa. Dengan penuh kegigihan, wanita paruh baya itu tetap berusaha menerobos ke dalam barisan massa. Mencoba menemukan titik terdekat antara ia dan anaknya.

"TIN TIN TIN TIN TIN...."

Belum ada lima menit Laksita beranjak maju mendekati mimbar bebas, sebuah kelakson mobil truk kuning pengangkat pasir terdengar mengintervensi suara Bhanu di pengeras suara. Bunyi yang terus bergeming hingga membuat jengkel beberapa massa yang merasa semakin terdekati oleh sumber suara tersebut. Sebagian dari demonstran itu lalu membalikkan badannya, membelakangi mimbar bebas dan menatap jauh ke depan barisan keamanan yang sedang bersiaga. Dari jarak truk yang sudah semakin dekat dengan barikade keamanan itu, seorang aparat menembakkan tanda peringatan ke arah langit. Tembakan yang lantas membuat hening aksi mimbar bebas.

Seketika, perhatian seluruh massa terarah pada truk kuning pengangkat pasir itu. Truk yang bahkan tidak berisikan satu pun demonstran di bak belakang. Bahkan hanya ada seorang supir di kursi bagian depan. Dan yang paling janggal dari kedatangan truk tersebut adalah gerak lajunya yang tak beraturan. Ia bukan hanya melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi juga dengan melanggar banyak marka jalan--yang membuatnya kian nampak ugal-ugalan. Situasinya semakin mencekam saat kemudian tembakan peringatan dari aparat itu tidak sedikit pun mengurangi kecepatan lajunya. Situasi yang kemudian membuat barisan aparat--yang sempat bubar--lantas membubarkan formasinya. Begitu pun disusul dengan lapisan massa yang sebelumnya berkerumun menutupi jalan.

"Wooo wooo wooo..." jeritan aparat dan massa saling bertumpang tindih.

"Allahuakbar!" ... "Aaaaaaa!" ... "Tolooooong!" ... "Sakit sakit sakit!"

Jerit rintih kesakitan mulai memekik, menambah murka mahasiswa yang menyaksikan kegilaan supir truk itu dari titik aman. Kejadian yang begitu singkat untuk bisa digambarkan dengan sebuah kalimat. Dalam hitungan detik, saat setiap orang telah merasa berhasil menyelamatkan dirinya masing-masing, mereka akan tersadar bahwa ada puluhan orang lainnya yang sudah bergelimpangan penuh darah. Ada yang kaki dan tangannya terlindas ban truk. Ada yang tertabrak hingga kepalanya mengalami pendarahan. Ada yang terpelanting hingga patah tulang. Ada banyak pula yang berjatuhan dan terinjak-injak. Ini adalah tabrak lari tergila yang pernah terjadi di tengah agenda demonstrasi. Bahkan korban yang berjatuhan pun bukan hanya dari kalangan mahasiswa, melainkan juga dari kalangan aparat yang membentuk barikade di barisan terdepan.

"Tangkap woyyy ayo kejar.. tangkaaaap!" teriak seorang mahasiswa menginisiasi pengejaran terhadap truk yang terus melaju kencang ke arah jalan S. Parman tersebut. Maka segerombolan massa pun berlarian, disusul aparat bermotor yang juga mengincar truk tersebut.

Tiba-tiba, dari arah mobil truk pertama itu tiba, tepatnya dari arah jalan Daan Mogot; datang beberapa bus angkutan umum--dengan jumlah massa yang nyaris sepadan dengan jumah aparat keamanan di lokasi demo. Angkutan-angkutan itu kemudian berhenti di bawah jembatan layang Grogol untuk menurunkan para penumpangnya. Seketika, penumpang-penumpan itu lantas melakukan penyerangan secara masif terhadap aparat keamanan yang tengah lengah. Anehnya, mereka melakukan aksi represif itu dengan sambil berteriak provokatif--mengatasnamakan keadilan untuk keempat mahasiswa Trisakti yang kemarin mati di tangan aparat.

Beruntung Laksita sempat menyusup masuk ke barisan massa jauh sebelum truk maut itu datang. Sehingga saat semua kejadian berdarah tersebut terjadi di depan matanya, Laksita sudah dalam posisi yang aman, dan hanya terdampak gesekan massa yang saling mendorong mundur. Sialnya kamera Laksita rusak. Refleknya yang baik saat seketika mengambil kamera dari dalam tasnya--tidak berbanding lurus dengan rencana penangkapan momen truk maut dan momen detik-detik ketika massa tak beralmamater itu datang untuk memantik kerusuhan dengan aparat keamanan.

"Laks! ayo minggir! minggir!" Hans menarik keluar rekan jurnalisnya itu dari zona bentrok yang semakin tak terhindarikan.

"Lihat Guntoro?" tanya Hans dengan sedikit berteriak. Suasana semakin kacau dan bising. Ada sekelompok mahasiswa yang menarik diri dari bentrokan tersebut--dengan lebih memilih untuk mengevakuasi korban truk maut. Namun ada pula yang justru terprovokasi oleh narasi-narasi yang digaungkan para pihak tak beralmamater itu.

"Laks! Kamu ngelamun?!" Hans membentak kesal sembari mengguncangkan kedua bahu Laksita.

"Hans, coba foto itu!" Laksita memerintah Hans tanpa memalingkan tatapannya dari fenomena yang terjadi di depan mata mereka. Sebuah tindakan anarkis terhadap aparat keamanan--yang dilakukan oleh pihak-pihak tak beralmamater--saat kerap kali ada aparat yang ingin mengevakuasi korban truk maut.

Dari posisi Laksita dan Hans berdiri, nampak jelas bahwa target utama mereka bukanlah mahasiswa, melainkan aparat keamanan. Bahkan, terlihat pula bagaimana--di tengah bentrok itu--kebanyakan mahasiswa justru bergotong-royong mengevakuasi korban truk maut, baik korban dari pihak mahasiswa itu sendiri maupun dari pihak aparat keamanan. Civitas Trisakti bahkan bertindak responsif dengan segera mengelurkan mobil ambuance milik kampus. Sebagian lainnya bahkan ada yang berinisiatif menjadikan mobil pribadinya sebagai transportasi medis. Tentu saja, senat dan koordinator lapangan juga sudah menghubungi beberapa rumah sakit terdekat, untuk segera mengirimkan ambulance.

Lihat selengkapnya