DIVIDE ET IMPERA

Sastra Introvert
Chapter #7

Siapa Mereka?

Rupanya keberuntungan tidak selalu datang di waktu yang tepat. Atau barangkali, tidak semua yang dikatakan 'tepat' oleh manusia, sejalan dengan hal-hal yang mengharuskan keberuntungan untuk datang. Entahlah! Walau Laksita harus didera kecewa sebab gagalnya misi penyelamatan. Tapi terlalu dini bagi wanita paruh baya ini untuk mendeskriditkan takdir Tuhan atas dirinya. Keimanan yang ditanamkan kepadanya sedari kecil--telah mewariskan sifat tegar yang penuh ketenangan. Kini, ia berjalan di bawah pengawasan dua orang berseragam PHH Brimob POLRI. Mereka berjalan menuju mobil paroli pengangkut massa--setelah seorang petinggi dengan name tag 'Letkol Roedi'--yang tadi menarik kerah baju Laksita--memberi titah kepada kedua anak buahnya untuk mengamankan wanita itu.

Laksita tidak bisa mengenali wajah kedua aparat yang kini tengah memandu jalan sambil mencengkram leher dan pundaknya. Mereka mengenakan buff masker berwarna hitam yang menutup hampir separuh dari wajahnya. Keduanya bahkan tidak bersuara, kecuali hanya satu waktu--ketika Letkol Roedi memberi perintah pengamanan tadi.

"Bawa dia ke B zone!"

"Siap! Tikus, Katak, atau Elang ndan?"

"Tikus!"

"Siap, diamankan!"

Tikus? Katak? Elang? Apa kira-kira makna di balik kode-kode itu? Apakah sesuatu yang akan berkaitan dengan 'prosedur penanganan'? Apakah ada korelasinya dengan 'nasib' Laksita setelah ini? Laksita terus memikirkannya, bahkan ketika mobil yang ia tumpangi kini mulai melaju menuju B zone--yang entah dimana letak pastinya.

Jika difilosofikan dengan rantai makanan, maka tikus adalah mangsa, begitu pun dengan katak. Tapi kenapa harus ada elang? Karena, apabila ketiga kode itu memiliki arti yang berkaitan erat dengan proses penanganan, maka kedudukan elang dalam rantai makanan tentu bukan sesuatu yang bisa diintimidasi. Dan kenapa pula Laksita harus masuk dalam kategori 'tikus'? Padahal katak dan tikus sama lemahnya dalam rantai makanan! Lalu kenapa harus ada dua kategori terlemah itu di antara tiga kode yang tentu saja memiliki makna pembeda?!

Kepala Laksita menjadi pening dengan hipotesanya sendiri. Dan semakin pening, saat perjalanan membuatnya jadi dapat melihat suasana ibu kota yang mencekam. Pemandangan yang jauh lebih mengerikan dari apa yang tadi diceritakan Guntoro. Sekarang Laksita menyaksikan sendiri bagaimana puluhan gedung itu sudah terbakar. Api yang menyulut tinggi di antara teriknya siang. Orang-orang bermata sipit yang lari terpontang-panting dikejar massa. Pemukulan. Tendangan ke arah wajah. Bahkan perampasan paksa terhadap perhiasan yang dikenakan para korban. Laksita menyaksikan semuanya dari kursi depan yang dihimpit oleh kedua aparat tersebut. Dan jendela yang masih dibiarkan terbuka, terasa menambah dramatis pemandangan di sepanjang jalan yang mereka lalui.

"Pak, saya mau dibawa kemana ya?" akhirnya Laksita menemukan cara untuk melanjutkan misi penggalian informasi--atas massa tak beralmamater--yang entah siapa itu.

"Sudah, kamu diam saja!" jawab salah satu dari mereka.

"Saya rasa to pak, saya bukan orang sepenting itu, yang harus diprioritaskan penanganannya di atas kerusuhan Jakarta yang separah ini pak. Kenapa bapak tidak turun saja dan menghadang para penjarah itu?"

"Kamu bego ya?! Buat apa menghadang penjarah yang sedang berjuang menggulingkan Soeharto?!" seseorang yang berbadan lebih pendek itu kemudian membentak Laksita.

"Lho bapak ki piye to?! Kita ini sedang krisis moneter pak, justru adalah tindakan yang bego apabila kita mengacaukan perputaran ekonomi sampai seperti itu! Belum lagi korban nyawa yang mungkin berjatuhan dari gerakan-gerakan anarkis tersebut! Untuk apa menurunkan Soeharto dengan kekacauan yang justru menambah belangsak rakyat seperti ini? Kenapa tidak bapak kerahkan saja para penjarah itu untuk bergerak ke arah istana atau ke Halim agar berdampak langsung kepada Soeharto? Toh hari ini beliau kembali dari Mesir!"

"Tolol kamu, tidak tahu apa-apa tentang strategi, tapi banyak omong! Benar-benar tikus rupanya!"

"Yang tolol adalah yang punya kapasitas untuk melindungi rakyat, tapi malah memilih diam dan menikmati pemadangan seperti itu!"

"Bicara kau sekali lagi, habis kau!"

"Rupanya, kalian yang tikus!" sindir Laksita dengan senyum sinis yang disengaja.

"Apa maksudmu?!" kedua aparat pun mulai masuk ke dalam alur permainan Laksita.

"Lho kok bertanya? Tikus itukan tak bernyali. Persis seperti kalian yang punya senjata untuk memukul mundur Soeharto, tapi lebih memilih cari aman dengan bersembunyi di balik pertumpahan darah para sipil. Dasar pecundang berseragam!"

BUAGGHHH... akhirnya, salah satu di antara kedua aparat itu menonjok Laksita--sesuai misi. Kini Laksita punya alasan untuk pura-pura pingsan, dan memberi ruang privasi bagi keduanya agar membicarakan hal-hal yang mungkin saja bisa menjadi petunjuk baru bagi Laksita.

Sebenarnya ini ide yang agak gegabah. Apalagi kedua aparat itu membawa senapan di pinggangnya. Terlepas apapun jenis peluru yang ada di dalam senapan itu; jika ditembakkan pada bagian vital dari jarak sedekat ini, Laksita bisa saja mati konyol. Lagipula kalaupun mendapatkan informasi setelah kepura-puraan pingsannya itu, belum tentu juga dia dapat lolos dari mereka, untuk kemudian membeberkan semua fakta tersebut kepada orang lain. Laksita tahu semua risiko atas tindakannya. Tapi waktu dan kondisi tidak memberinya cukup ide untuk memikirkan hal-hal yang lebih ideal dari rencana 'pura-pura pingsan' ini.

Lihat selengkapnya