DIVIDE ET IMPERA

Sastra Introvert
Chapter #9

Fucksomax

Padatnya deret tragedi kemanusiaan yang bergulir di sepanjang 13 Mei 1998 membuat Laksita kehilangan orientasi waktu. Entah pukul berapa tepatnya, ketika kemudian Laksita dapat menarik diri dari misi penyelamatan korban pembakaran di Klender Mall tadi. Tapi langit sudah menunjukkan rona jingganya. Wanita dengan busana penyamaran khas gadis belanda itu berjalan di tengah dahaga dan gelap yang mulai menyergap. Perjalanan yang kian senyap di antara ruko-ruko sisa penjarahan. Ruko yang ditinggalkan terbuka begitu saja oleh pemiliknya. Ruko dengan etalase kaca yang hancur berkeping. Ruko berwarna hitam legam dari sisa lalapan si jago merah. Dan tentu saja ada juga beberapa ruko yang masih tertutup rapih dengan cat merah bertuliskan "MILIK PRIBUMI" di bagian rolling door-nya. Entah sudah berapa kilo meter Laksita kini mengayunkan kaki menuju kediaman dokter Sukarto, kenalannya.

"Toloooooong!" sebuah teriakan terdengar dari balik punggung Laksita. Segera ia rapikan kembali segala aksesoris penyamarannya, sebelum menoleh ke belakang dan bersiap untuk situasi terburuk.

Belum sempat Laksita memfokuskan pandangannya, sebuah mobil taksi dengan kecepatan tinggi melaju tak beraturan, dan nyaris menabraknya. Beruntung Laksita punya reflek yang cukup baik. Ia bergegas lari mendekati taksi yang berhenti tepat sebelum menabrak pondasi ruko itu. Semakin dekat, suara jerit tolong itu semakin memekik di telinga Laksita. Ia lantas menahan langkahnya. Terlebih saat kemudian menyadari dari kaca belakang mobil, bahwa selain seorang wanita, ada tiga laki-laki lain di dalam taksi tersebut. Laki-laki yang sedang melepas seragam kepolisiannya, namun belum bisa dipastikan dari kesatuan apa.

Semula, Laksita mengira bahwa teriakan tolong yang dilontarkan wanita tersebut adalah sebab dari ketidakpiawaiannya dalam mengemudikan taksi hasil rampasan. Hal itu lumrah terjadi di sepanjang hari ini. Dimana orang menjadi bebas untuk mengambil apa-apa yang bukan miliknya--demi kepuasan atau keselamatan pribadi. Sebelum ini, lebih tepatnya di sepanjang hari sejak kerusuhan, penjarahan, pembakaran, dan pemburuan terhadap etnis Tionghoa terjadi sedari pagi tadi, Laksita sudah melihat puluhan orang yang mengemudikan kendaraan milik orang lain. Puluhan orang yang merebut paksa kendaraan orang lain. Puluhan pengemudi yang diberhentikan untuk membawa kabur orang lain. Dan puluhan pemilik kendaraan yang meratapi nasib penjarahan atas dirinya.

Tapi sepertinya dugaan Laksita kali ini salah. Betapa ngerinya wanita paruh baya berbalut pakaian remaja itu, saat mendapati sebuah pemerkosaan tengah terjadi di depan matanya. Suatu kebiadaban yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang aparat keamanan.

Dari jarak yang masih cukup jauh, Laksita mengamati situasinya dengan hati yang berkecamuk. Di satu sisi, ia ingin segera menemui dokter Sukarto untuk memeriksa kandungan obat yang diduganya sebagai narkotika cair. Sebab jika dugaan tersebut benar, maka hipotesanya semakin kuat bahwa obat tersebut sengaja dibagikan untuk merileksasi aparat keamanan, agar tetap tenang dan memiliki keberanian lebih--dalam upaya 'menciptakan dan memanajemen konflik horizontal'. Namun di lain sisi, Laksita tidak sampai hati meninggalkan wanita itu dalam kesengsaraannya. Wanita yang beberapa kali terdengar merintih kesakitan di antara isak tangisnya.

Laksita tahu bahwa perlawanan ini adalah pilihan yang konyol. Bagaimana pun tenaganya tidak mungkin sebanding dengan tiga aparat keamanan itu. Apalagi jika melihat otot dan postur ketiganya yang sedang bertelanjang dada. Dibayangkan dengan jurus apapun, tetap tidak akan menang. Terlebih Laksita memang bukan seorang atlet bela diri.

"Wooooy!" bentak wanita paruh baya itu sembari berjalan mendekati taksi. Dilepasnya kedua sepatu boots beralaskan heels tebal yang tengah dikenakannya. Lalu dipanggulnya sepasang boots itu di atas bahu, bak seorang cowboy dengan tali pengikatnya.

Mendengar suara menantang yang bersumber dari luar taksi, ketiga aparat itu menghentikan aksi pemerkosaannya. Mereka bergegas keluar dengan geliat seperti zombie yang haus sex. Dua di antaranya sempat menyematkan kembali seutas boxer sebelum keluar meninggalkan gadis itu di dalam taksi. Sementara satu yang lainnya, bahkan bergerak mendekat ke arah Laksita tanpa seutas kain pun.

Laksita beristighfar dengan lafadz yang tidak tergurat di mulutnya. Perlahan ia melangkah mundur, mencoba mencari cara yang paling bijak untuk memandang apa yang terasa memuakkan di hadapannya saat ini. Tetapi ketiga aparat itu nampak tidak berniat melepaskan Laksita begitu saja. Terlebih dengan penyamarannya yang justru menambah tinggi birahi mereka kala menatapnya untuk pertama kali.

Maka tanpa sepatah dialog pun, para keparat itu segera merundung Laksita. Wanita itu mencoba bertahan dengan mengibas kasar sepasang boots miliknya secara tak beraturan. Sesekali upaya itu berhasil mencederai wajah dan kepala mereka. Tapi sungguh, kekuatan mereka seperti zombie yang sukar ditaklukkan. Seberapa kuat pun boots itu menghantam ketiganya, mereka hanya jatuh dan bangkit secara bergantian--tanpa satu pun yang berhasil dilumpuhkan.

Kekuatan Laksita kian menipis, sementara serangan ketiganya semakin buas dan tak tertahankan. Akhirnya salah seorang dari mereka berhasil menjangkau bahu Laksita. Dirobeknya lengan baju wanita malang itu, dengan susulan tangan aparat lainnya yang menggerayang. Kini rasa takut dan keputusasaan mulai menghardik Laksita tanpa solusi. Ia mulai berteriak dengan teriakan yang sama persis seperti wanita dalam taksi tadi. Dengan sisa perlawanan yang ada, Laksita berharap ada seorang yang dapat mendengar dan menolongnya. Tapi bahkan sampai wig dan gaunnya mulai berantakan pun, pertolongan itu belum datang. Laksita masih harus mengandalkan dirinya sendiri. Ia tetap berusaha memberontak, walau tetap saja gagal untuk beranjak dari terkaman ketiganya.

Di tengah keterbatasan gerak yang bisa dilakukannya, Laksita teringat pada sekotak benda berat yang mungkin saja bisa dijadikan senjata. Ia pun lantas berusaha menjangkau tas kecil yang berisikan kamera dan botol obat itu. Lalu diambilnya kamera peninggalan sang suami untuk menghantam bertubi-tubi salah satu kepala dari ketiga aparat tersebut. Beruntung, hantaman itu akhirnya berhasil menyebabkan pendarahan. Gugurnya satu orang di antara mereka tentu saja menjadi peluang baru bagi Laksita untuk kembali melarikan diri. Maka wanita paruh baya itu pun tidak sedetik pun menyiakan kesempatan yang ada. Ia lantas bangkit dan terseok-seok dengan pakaian yang kian lusuh--untuk menjauhi ketiganya.

"TIN TIN TIN!" sebuah klakson dari taksi yang ada di belakang Laksita tiba-tiba terdengar mencekam. Deru ban mobil yang melesat kuat menambah tegang situasi kala itu. Terlebih saat mobil itu seketika menabrak dengan keras ketiga aparat yang berlarian mengejar Laksita. Insiden yang terjadi dengan begitu singkat hingga membuat Laksita pun ikut terpental jatuh--sebelum sempat menoleh. Tapi ia terpental bukan karena tertabrak taksi sebagaimana para pelaku pemerkosaan itu. Melainkan karena salah satu tubuh dari aparat yang tertabrak itu, terlempar hingga menghantam tubuh Laksita yang tidak begitu jauh darinya.

"Masuk! Masuk!" titah wanita korban pemerkosaan di dalam taksi tadi. Laksita sempat tertegun mendapati wanita itu masih dalam keadaan sadar. Ia pikir, wanita itu sudah tak sadarkan diri--atau bahkan mati--mengingat bagaimana fenomena pemerkosaan tadi terjadi dengan begitu bengisnya. Dan siapa sangka bahwa wanita itu rupanya adalah seorang gadis yang sangat belia. Laksita pun lantas tersadar dan segera masuk melalui pintu samping driver. Dalam keadaan trauma dan histeris, ia segera memastikan bahwa semua pintu sudah terkunci.

Kini, Laksita menatap sendu gadis belia cantik dengan mata sipit yang terus beruraikan air mata di hadapannya. Baju yang sudah robek tak berbentuk dan sekenanya dipakai itu semakin mentransparansikan tubuh yang gemetar ketakutan. Tanpa seutas kata, Laksita segera melepas gaunnya untuk menyempurnakan balutan tubuh gadis tersebut. Tentu saja itu pun karena sejak awal Laksita memang me-double baju yang semula dikenakannya--dengan gaun penyamaran itu. Sehingga robeknya gaun tersebut--saat insiden tadi--tidak lantas menampakkan kulit tubuhnya sedikit pun.

"Pakailah..." ujar lembut Laksita pada gadis yang diduga seumuran Bhanu, anaknya. Gadis itu pun lantas menatap wanita yang mungkin seusia ibunya. Ia lantas memeluk Laksita dengan derai air mata yang mewakili banyak rasa. Baik itu rasa hancur karena telah menjadi korban pemerkosaan massal. Maupun rasa ngeri atas tindak upaya pembunuhan yang baru saja dilakukannya. Laksita menyapu halus rambut panjang gadis berkulit putih yang tengah memeluknya itu.

"Tidak apa, kamu hebat, kamu kuat nak... mereka memang pantas mati... ibu berhutang budi padamu. Kamu adalah anak muda yang baik dan hebat... Sabar sayang..." ucapan yang membuat gadis itu semakin hanyut dalam keterpurukannya. Untuk beberapa saat, Laksita membisu, membiarkannya menangis dalam hening yang tidak mengintimidasi.

"Kita harus kemana sekarang ibu?" tanya sang gadis setelah akhirnya mulai tenang dan berkenan mengenakan gaun pemberian Laksita. Gaun yang juga sudah rusak, namun masih jauh lebih baik daripada kondisi baju yang dikenakannya.

"Rumahmu dimana nak?"

"Aku sudah tidak punya rumah bu, cici tadi telepon kalau rumah dibakar penjarah, tapi syukurnya mereka sempat pergi sebelum jadi bulan-bulanan."

"Kamu tahu dimana mereka sekarang?"

"Tidak ibu, ponselku terus berbunyi, jadi mereka membuangnya di tengah jalan, saat tadi aku diperkosa." tanpa sengaja Laksita membuat gadis itu mengingat kembali hal buruk yang mengundang traumanya.

Lihat selengkapnya