Hari ini adalah genap dua puluh lima tahun sejak hari bersejarah itu terjadi. Hari dimana pagi-pagi sekali ibuku sudah mendatangi Polda Metro Jaya dengan perasaan yang penuh harap. Dia bahkan terjaga sepanjang malam karena teramat besar pengharapannya terhadap rencana hari itu. Sebuah harapan untuk bisa segera menggenapi puzzle kejahatan yang telah merenggut banyak korban jiwa. Pengharapan untuk bisa menemukan benang merah yang dapat merujuk kepada dalang intelektual atas apa yang telah terjadi di Jakarta selama dua hari itu.
Sebenarnya aku masih ingin menuliskan perjuangan ibuku pada tanggal ini--di dua puluh lima tahun silam--dengan detail dan runut. Tapi setiap kali mengingat tanggal ini, traumaku terus datang dan menghujam sampai ke mental. Bahkan tidak peduli berapa kali aku belajar menerima kenyataan, 14 Mei tetap saja menjadi ingatan yang buruk dari masa lalu. Masa dimana aku mulai terbiasa untuk menunggu dalam lumpuhnya keadilan di negara yang bersemboyankan pancasila ini.
Baiklah, kebetulan juga wanita itu sudah mengetuk pintu ruang kerjaku. Suatu kode yang telah kami sepakati selama beberapa tahun terakhir, sebagai panggilan makan bagiku. Satu isyarat bahwa wanita yang sangat kukagumi itu telah selesai dengan urusan dapurnya. Dan memang harum yang kian menyeruak masuk ini adalah konfirmasi tersendiri atas kode tersebut. Pertanda bahwa aku harus bersegera menyudahi tulisan ini. Pulang dari masa lalu. Pulih dari luka trauma. Kemudian hidup satu kali lagi untuk melunasi apa-apa yang masih tersisa dari hutang reformasi.
Secara singkat, pagi itu ibuku berhasil menemui KAPOLDA Metro Jaya. Tentu saja kantor itu terlihat hectic. Setiap personel nampak berkomunikasi dengan komadan satuannya masing-masing. Mobil patroli dan taktis juga terlihat berduyun meninggalkan kantor tersebut di waktu yang bahkan masih terlalu dini dari umumnya kegiatan patroli atau pembubaran aksi.
Maklum, hari itu kami--mahasiswa--bersama masyarakat mulai bersinergi untuk menduduki gedung MPR/DPR dengan cara yang sama brutalnya seperti cara para aparat itu membungkam aspirasi kami. Dan seperti yang kalian tahu, pada tanggal 18 Mei 1998 ratusan ribu rakyat Indonesia akhirnya berhasil mendesak ketua MPR kala itu--yang notabenenya juga adalah ketua umum partai GOLKAR--sebuah partai politik pengusung Soeharto sekaligus pemelihara orde baru; untuk meminta Soeharto mengundurkan diri dalam kurun waktu lima hari. Sampai kemudian pada tanggal 21 Mei 1998 pernyataan pemunduran diri itu pun disampaikan oleh Soeharto secara live dari Istana Negeri Jakarta.
Kembali pada tanggal ini di dua puluh lima tahun silam, ibuku berhasil menemui KAPOLDA Metro Jaya. Dia menguraikan segala bentuk penyimpangan fungsi aparat keamanan yang diketahuinya. Mulai dari penembekan mahasiswa Trisakti oleh aparat dengan seragam URC. Sampai dengan pembakaran tersistematis Mall Klender oleh aparat dengan seragam PHH. Dan tentu saja ibuku juga bercerita tentang apa yang menimpa Annchi, gadis malang korban pemerkosaan masal itu.
Betapa terkejutnya ibuku saat kemudian KAPOLDA tersebut merespon semua keterangannya dengan statement yang di luar ekspektasi. Semula, ibuku berpikir bahwa mendatangi KAPOLDA Metro Jaya adalah jalan terlogis untuk mendapatkan informasi terkait satuan-satuan yang bertugas pada hari-hari tersebut. Dimana dengan mengetahui satuan-satuannya, akan lebih sederhana untuk kemudian bertanya kepada para komandan satuan itu terkait daftar personel yang bertugas. Dengan begitu, kita bisa menuntut pertanggungjawaban kepada para personel terkait. Sekaligus mengintrogasi mereka agar bersedia buka mulut atas dalang intelektual di balik aksi-aksinya tersebut.
Sayangnya, apa yang ibu dengar dari statement KAPOLDA itu adalah statement yang tidak jauh berbeda dengan informasi terkait identitas penyewa transportasi dalam jumlah besar--yang tempo hari diselidiki oleh rekan-rekan jurnalis politik di kantornya.
"Saya berani jamin, bahwa tidak ada satu pun satuan polisi yang bertugas di Mall Klender pada pukul itu. Saya juga shock dengan apa yang terjadi belakangan ini. Seolah ada kelompok tertentu yang sudah mengorganisir semuanya, dan menggunakan seragam kami untuk melegitimasikan tindakan mereka."
"Bapak berani bertanggung jawab dengan pernyataan tersebut? Ini akan menjadi statement yang blunder apabila saya publish dalam surat kabar kami lho pak."
"Silahkan saja diberitakan sebagaimana ucapan saya tersebut. Karena memang begitu faktanya. Tapi saya dan rekan-rekan juga tidak tinggal diam. Sejauh ini kami masih berusaha menyisir ke sejumlah lokasi yang diduga sebagai basecamp dari massa provokatif tersebut. Jika mereka bisa kami amankan, mungkin petunjuk tentang massa sipil yang berseragam polisi itu pun dapat kita ringkus. Sebab jika merujuk kepada keterangan saudari dalam tragedi pembakaran Mall Klender tadi, jelas ada indikasi bahwa massa yang anda sebut sebagai 'massa tak beralmamater itu' memiliki kaitan erat dengan massa sipil berseragam polisi yang tengah kami buru."
Kurang lebih, begitulah isi percakapan mereka di pagi itu. Sebuah diskusi yang belakangan menjadi kian konkrit dengan adanya pemecatan mendadak--tanpa sebab--kepada KAPOLDA Metro Jaya tersebut pasca terbitnya berita terkait statement 'Ada Kelompok Sipil Berseragam Polisi di Balik tragedi Mei 1998". Pemecatan yang kemudian menjadi tanda tanya besar, seiring dengan lahirnya berita-berita pengalihan isu yang seolah sengaja di blow up untuk menimbun statement terkait sipil berseragam polisi tersebut.