Divisi 35

Rains Peter Aro
Chapter #2

Borgaz


Di kedai kopi di area istirahat SIUK 1 Bulatar, dua orang lelaki perempuan mengenakan jaket yg sama saling duduk berhadapan. Logo departemen Imigrasi terukir didada kanan jaket mereka, ada angka 35 disamping logo itu. Yg wanita nampak sibuk dengan perangkat portabel ditangannya, sementara lelaki berbadan kekar didepannya asyik menikmati kopi hangat sambil memperhatikan sekeliling. Kedua orang itu dalam perjalanan menuju portal di kuwu 2 Dapelang, Kwedan 3 Jano, untuk memberikan pelatihan pada team disana. Saat ini mereka sedang berhenti sarapan di Bulatar, sambil isi ulang kristal 4 dan servis kendaraan.

“Wooow! Sandrina Mirahingsih, 21 tahun, putri kedua tumenggung Silirderiya. Lulusan XenCom ANK Keraton, masih seger baru lulus 2 bulan lalu. Menguasai 25 bahasa Terran dan 8 bahasa alien! Edan! Ini orang apa HoloDesk 5?

“Kadigdayan 6 level 6! Menguasai 5 macam kanuragan 7! Penembak jitu ter-registrasi! Ahli menggunakan 12 jenis senjata. Uhh, Bang! Si akolat gurih banget!” Nova, perempuan berambut ikal itu menepuk pundak seniornya sambil tertawa lepas “Lihat nih, video dia bicara dalam bahasa Terran!”

“Dalam hal bahasa, android dimarkas kalah jauh sama si nubie! Selain bahasa Nuswatara, si Gunariyono kempling itu cuma bisa bahasa rayuan gak mutu” Borgaz, sang senior berambut cepak mencondongkan wajahnya kearah Daptig 8 milik si junior, menyimak profil si pendatang baru. Cantik juga, jadi pengen. Tapi dia terlalu muda, atau aku yg terlalu tua? Eh, apa bedanya? Haiyah, jangan caludhak 9!

“Tau nggak, kata Laras, Kanjeng Gusti sendiri yg interview dia”

“Ya wajar, anaknya Tumenggung. Kanjeng Gusti harus menghargai bapaknya si nubie yg jadi anak buahnya rajya Keraton” Borgaz kembali meneguk kopinya dengan perlahan.

“Ribet! Seandainya negara kita bisa berubah jadi republik kayak Neo Saxon, atau seperti negeri tetangga Kadiri di Andolas” Nova meletakkan gadget dimeja, dengan cepat tangannya menyambar sandwich dipiring. Sambil menggigit sandwich, tangan kanannya mengambil ikat rambut disaku jaket, kemudian dengan cekatan dia mengikat erat rambut ikal berwarna kecoklatan yg panjangnya sepunggung.

“Mau republik atau kerajaan gak ada bedanya, yg penting aku akan selalu jadi anak buahnya Kanjeng Gusti Drestya” Borgaz nyengir.

“Wawuq wiqeqiuqukk gwuyck!!” Gumamnya tak jelas, mulutnya masih menggigit sandwich dan kedua tangannya masih sibuk merapikan rambut.

“Hush! Ini namanya kekaguman! Meskipun Kanjeng Gusti cantik, seksi, montok.. Ehem.. tapi aku gak ngarah kesana. Ini murni, tulus, putih bersih gak ada yg kotor-kotor!” Borgaz berkata sambil melotot kearah juniornya.

Meski omongan Nova terdengar gak jelas tapi Borgaz tetap bisa memahaminya. Kebersamaan selama 4 tahun membuat mereka seperti memiliki ikatan bathin, bagai saudara senasib, saling mengerti dalam suka maupun duka.

“Qweuik qwetkeq mhqouteeq Ghugqwee, wtebghhh Guqewmbgga”

“Ya wajar lah, beliau memang patut dipuja dan disanjung”

“Gwtedgut eeqqhhg Bhgqwdhh?”

“Oh tidak! Manusia gak layak menjadi pendamping Kanjeng Gusti. Bahkan Deva Bhatara juga belum tentu layak mempersunting beliau”

“Qhwwwggg qwehggg gqwet mghdugh dewqghuu”

“Hehehe!” Borgaz garuk-garuk kepala.

Beberapa menit kemudian, petugas SIUK datang menyerahkan kunci mobil pada Borgaz. Mobil sudah ganti kristal, sudah selesai diservis juga, waktunya melanjutkan perjalanan. Borgaz dan Nova bergegas menuju kearah tempat parkir.

“Ah, baru ingat! Pantesan sejak tadi aku gelisah” Borgaz menghentikan langkahnya.

“Apalagi? Dah mulai sering lupa? Ya wajar bang, penyakit orang berumur memang seperti itu” Nova berkacak pinggang “Yg sabar aja bang, pikun gak bisa diobati, hanya bisa dicegah”

“Kamu tau mas Sardi kan? Itu lho wakil kapten Team Dapelang” Borgaz gak menghiraukan ejekan Nova.

Lihat selengkapnya